DARI David Hume (1711 – 1776) dan James Steuart (1712—1740), dapat dilacak mengapa semua dewa-dewa Romawi serba mendua dan ambigu, sejak dari wajah hingga karakter. Demikianlah hingga muncul Paulus dari Tarsus (3–67 M) yang membuat kredo religi baru tentang Tuhan yang Diperanakkan. Ratusan tahun kemudian disetujui Konstantinus Agung (272–337 M) dalam Konsili Nikea I (20 Mei–19 Juni 325), yang secara resmi Romawi mengakui adanya Anak Tuhan. Monoteisme dari Arius (250–336 M) dinyatakan resmi terlarang.
Tentu saja Hume dan Steuart tidak menunjukkan hal demikian secara langsung, tapi bisa ditafsikan dari Anthony Brewer. Menurutnya, sebagaimana teori Hume-Steuart awal mula ‘kemewahan’ (luxury) dan ‘pembaharuan (refinement)‘ mungkin dapat ditelusuri setidaknya ke Yunani klasik atau Yunani kuno, yang sebelumnya kedua hal tersebut berada di luar lingkup mereka. Kemudian Yunani dikuasai Romawi. Dalam masa kolonialisasi itu, Yunani menuju peradaban yang mewah, juga terjadi pembaharuan dalam seluruh sektor kehidupan.
Memang Yunani menjadi salah satu wilayah koloni Romawi, tapi antara kedua bangsa itu tidak dalam relasi hierarki antara penjajah dan yang terjajah. Romawi memberikan gaya hidup mewah, hingga pembaharuan-pembaharuan dalam pembangunan fisik Yunani. Sebaliknya Yunani mengajarkan ilmu-ilmu filsafat, bahkan juga merevisi semua karakter dewa-dewa Romawi. Hampir semua nama-nama dewa Romawi memiliki kemiripan dengan Yunani. Yunani dianeksasi oleh Romawi pada tiga kurun waktu kekuasaan yakni Republik Romawi (509 – 27 SM), Kekaisaran Romawi (27 SM – 395 M), hingga Kekaisaran Romawi Timur (395 – 1453 M).
Brewer menolak pernyataan bahwa pembangunan biasanya dimulai melalui kontak dengan negara-negara yang lebih maju, karena hal demikian berpotensi mereduksinya menjadi penjelasan tentang proses yang dilakukan negara yang relatif terbelakang untuk mengejar tetangganya yang lebih maju. (Anthony Brewer, “An eighteenth-century view of economic development: Hume and Steuart”, The European Journal of the History of Economic Thought, Volume 4, Nomor 1, 1997: 22). Faktanya yakni Yunani yang terjajah justru memberikan kepada Romawi struktur berpikir melalui filsafat dan pembuatan dewa-dewa, bahkan mengubah secara drastis struktur Ketuhanan agama Kristen.
Bandingkan dengan relasi investasi China dan Indonesia. Negara Tirai Bambu itu bukan hanya memberikan diplomasi jebakan utang dan mengirim tenaga kerja ilegal, tapi juga memberikan sensasi pembiakan Komunis Baru. Jika seperti Yunani dan Romawi, maka Indonesia harusnya memberikan kepada China ajaran agama. Diduga keras, mayoritas pekerja China yang ke Indonesia itu tak ada yang beragama (agnostik), bahkan tidak bertuhan (atheis). Sudah bertahun-tahun mereka di Indonesia, tapi tak ada yang dipastikan para pekerja itu memeluk salah satu dari lima agama utama di negeri ini.
Dari filsafat Yunani dan kepercayaan Yunani itu, Romawi memiliki semua dewa yang serba mendua salah satu bernama Janus, yang kemudian keberadaanya disematkan pada nama bulan pertama, Januari. Figur ini wajahnya menghadap ke belakang dan ke depan. Candi pemujaannya dibuka pada masa perang, namun ditutup pada masa damai. (Jessie M. Tatlock, Greek and Roman Mythology, New York The Century Co.,1917: 347). Meski tak ada dewa seperti itu di Indonesia, tapi adanya orang-orang yang bermuka dua, pasti mudah terlihat dari para elit negara. Paginya masih berkata-kata seakan-akan benar, siangnya sudah terbuka kedustaannya. Sore menyebarkan harapan, ternyata saat malam tiba ternyata itu hanya halusinasi. Januari itu adalah saatnya makin waspada pada yang bermuka dua, tentu sebaiknya hingga Desember kembali tiba.