Kepala BPOM RI Prof. Taruna Ikrar saat membawakan kuliah umum di University of New South Wales (UNSW), Sydney, 22 Agustus 2025. Dalam kuliahnya, Prof. Taruna menekankan pentingnya kolaborasi regulator, akademisi, dan industri dalam mendorong riset serta pengembangan obat inovatif untuk menghadapi tantangan resistensi antibiotik.
BPOM RI bersama Recce Australia kembangkan antibiotik baru. Indonesia target produksi 2026, siap jadi hub riset farmasi global.
menitindonesia, SYDNEY — Di sebuah ruang rapat modern di jantung Sydney, langkah besar untuk masa depan kesehatan global dimulai. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI), Prof. Taruna Ikrar, memimpin pertemuan penting dengan Investment New South Wales (NSW), Austrade, dan raksasa farmasi Australia, Recce Pharmaceutical Ltd. di Sydney, Jumat (22/8/2025).
Ini, bukan diplomasi biasa. Pertemuan ini melahirkan komitmen strategis: mengembangkan antibiotik inovatif di Indonesia. Produk yang dibicarakan bukan obat biasa—melainkan antibiotika sintetik kelas baru yang digadang-gadang bisa menjadi senjata utama melawan resistensi antibiotik, masalah kesehatan global yang saat ini mengancam dunia.
Investasi Besar, Harapan Besar
Recce tak datang sendirian. Mereka menggandeng PT Etana Biotechnologies Indonesia, perusahaan biotek nasional yang belakangan dikenal agresif dalam pengembangan vaksin dan obat biologis. Melalui mekanisme investigational new drug (IND), Recce akan melakukan transfer teknologi agar Indonesia bisa menjadi salah satu pusat produksi antibiotik inovatif.
“Kolaborasi dengan Etana ini adalah yang pertama di Indonesia,” ujar James Graham, CEO Recce.
Ia bahkan secara khusus mengapresiasi kepemimpinan Taruna Ikrar yang dinilai berhasil mempercepat mekanisme perizinan farmasi di Indonesia. Target mereka jelas: produksi pertama di Indonesia pada 2026 untuk terapi diabetic foot infection (DFI) — salah satu komplikasi serius pada pasien diabetes.
Delegasi BPOM RI bersama perwakilan Recce Pharmaceutical Ltd dan mitra Australia usai pertemuan strategis di Sydney. Pertemuan ini menandai langkah penting Indonesia dalam memperkuat kerja sama global untuk pengembangan antibiotik inovatif dan mempercepat kemandirian industri farmasi nasional.
Regulasi Adaptif Jadi Kunci
Dalam sambutannya, Prof. Taruna Ikrar menegaskan posisi Indonesia: terbuka untuk investasi, progresif dalam regulasi, dan siap jadi mitra global.
“BPOM menyambut baik inovasi ini, terutama karena resistansi antibiotik kini menjadi isu global yang harus segera diatasi,” tegasnya.
Ia menambahkan, kolaborasi regulator, industri, dan akademisi adalah kunci percepatan ketersediaan obat baru. BPOM sendiri tengah bertransformasi, memperkuat mekanisme perizinan uji klinik sekaligus memberi kepastian hukum yang adaptif, transparan, dan ramah bagi investor.
“Dengan mekanisme yang jelas, saya yakin sponsor dari dalam maupun luar negeri akan percaya mengembangkan produk inovatifnya di Indonesia,” ujar Taruna.
Tak hanya berhenti di meja pertemuan, Taruna juga menyampaikan kuliah tamu di University of New South Wales (UNSW). Di hadapan para ilmuwan, ia memaparkan konsep triple helix collaboration — academia, business, government—sebagai strategi menjadikan Indonesia pusat penelitian medis global.
Kuliah tersebut sekaligus menunjukkan positioning Indonesia: bukan hanya pasar, tapi partner strategis dalam pengembangan obat global. Diskusi berlanjut dengan kunjungan Taruna ke UNSW RNA Institute, berbicara langsung dengan para profesor dan peneliti terkemuka.
Diplomasi Kesehatan yang Visioner
Langkah BPOM di Sydney bukan hanya urusan perizinan saja. Ia adalah diplomasi kesehatan: membangun jejaring, mengundang investasi, sekaligus memastikan Indonesia ada di garis depan inovasi medis.
Jika target 2026 tercapai, Indonesia bukan hanya akan menjadi pengguna pertama antibiotik inovatif Recce, tapi juga pionir di Asia dalam memproduksi obat baru yang bisa menyelamatkan jutaan nyawa dari ancaman resistansi antibiotik.
Sejarah mungkin mencatat, pertemuan di Sydney inilah yang menjadi titik balik Indonesia menuju kedaulatan farmasi sekaligus panggung global kesehatan dunia. (andi esse).