menitindonesia, MAROS – Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Maros terus menunjukkan tren peningkatan dalam lima tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan Maros mencatat sebanyak 165 orang dengan HIV (ODHA) menjalani terapi antiretroviral (ARV) sejak 2021 hingga November 2025.
Kenaikan kasus tampak dari laporan tahunan. Pada 2021 tercatat 23 kasus, meningkat menjadi 32 kasus pada 2022. Angka itu kembali naik menjadi 39 kasus pada 2023, lalu 48 kasus pada 2024. Hingga November 2025, ditemukan lagi 20 kasus baru.
Dinkes Maros menyebut Lelaki Seks Lelaki (LSL) masih menjadi faktor penyumbang terbesar penularan HIV di wilayah tersebut.
Perkembangan kasus itu diungkap dalam peringatan Hari AIDS Sedunia yang digelar di Ruang Pola Kantor Bupati Maros, Senin (1/12/2025).
Acara tersebut dihadiri Bupati Maros Chaidir Syam, Kepala Dinas Sosial Sulsel Abdul Malik Faisal, serta mahasiswa dan pelajar.
Bupati Chaidir menegaskan upaya pencegahan harus dilakukan hingga tingkat pemerintahan paling bawah. Ia menyebut Pemkab Maros telah mengukuhkan forum masyarakat peduli HIV/AIDS di desa, kelurahan, dan kecamatan sebagai langkah preventif.
“Ini upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS,” ujarnya.
Chaidir mengatakan sosialisasi akan diperkuat, terutama terkait bahaya perilaku berisiko seperti penyalahgunaan narkoba dan seks bebas. Edukasi menyasar generasi muda sebagai kelompok paling rentan.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Sulsel Abdul Malik Faisal memaparkan bahwa tren serupa juga terjadi di tingkat provinsi. Kasus HIV di Sulsel melonjak dari 1.526 kasus pada 2020 menjadi 1.881 kasus pada 2021. Jumlah itu kembali naik menjadi 2.575 kasus pada 2022 dan 2.669 kasus pada 2023, sebelum turun sedikit menjadi 2.486 kasus pada 2024.
“Grafiknya naik terus sampai 2023. Penurunan di 2024 bukan berarti kita boleh lengah,” ujarnya.
Ia menyebut Makassar, Parepare, dan Palopo sebagai daerah dengan kasus tertinggi di Sulsel. Penyebaran di provinsi ini masih didominasi penggunaan narkoba suntik secara bergantian dan perilaku seks tidak aman.
Abdul Malik menambahkan angka kematian akibat HIV/AIDS relatif rendah karena penderita wajib menjalani terapi ARV. Ia mengatakan fasilitas kesehatan kini menyediakan akses skrining HIV yang lebih luas, terutama untuk kelompok rentan.
“Deteksi dini sangat penting. Kami membuka skrining seluas-luasnya agar penularan dapat dicegah sejak awal,” tegasnya.