Kepala BPOM, Prof Taruna Ikrar memaparkan materi kuliah umum di hadapan civitas akademika FK UNS, Solo.
Kepala BPOM Prof Taruna Ikrar menegur keras dunia kesehatan Indonesia dalam kuliah umum di UNS Solo. Ia mengungkap potensi besar obat bahan alam dan masalah regulasi yang membuat Indonesia tertinggal.
menitindonesia, SOLO — Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) menjadi ruang perjumpaan gagasan ketika Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D., menyampaikan kuliah umum bertajuk “Sejarah Kedokteran Nusantara dan Masa Depan Regulasi Kesehatan”, Jumat (5/12/2025).
Acara yang digelar di kampus FK UNS itu disambut langsung oleh Rektor UNS, Prof. Dr. dr. Hartono, M.Si., didampingi civitas akademika, para dosen, serta ratusan mahasiswa rumpun kesehatan. Taruna hadir bersama Deputi II BPOM Sulsel, Muhammad Kashuri, dan Kepala Biro SDM BPOM, Irwansyah. Tampak juga hadir Direktur RSUD Mawardi, dr. Zulfachmi didampingi nyonya, dr. Azih Liza Zulfachmi–yang juga adalah Kepala Biro Umum BPOM RI.
Begitu memasuki ruang kuliah, suasana antusias terasa. Mahasiswa FK UNS yang memenuhi ruangan seperti menyiapkan diri untuk menyimak bukan hanya ceramah ilmiah, melainkan sebuah perjalanan panjang pengetahuan keshatan di Nusantara.
Jejak Ribuan Tahun Ilmu Kedokteran Nusantara
Dalam pemaparannya, Prof Taruna mengajak peserta menelusuri kembali mosaik sejarah kedokteran Indonesia. Ia mengangkat temuan arkeologis di Borneo—praktik amputasi yang sudah terjadi 31.000 tahun lalu—sebagai bukti bahwa ilmu kesehatan di wilayah ini sudah berkembang jauh sebelum istilah “medis modern” lahir.
“Praktik amputasi ini bukan 31 tahun atau 3000 tahun, tapi 31.000 tahun, sudah dilakukan di Borneo (Kalimantan),” ungkap Taruna Ikrar.
Ia juga menyinggung relief Karmawibhangga di Candi Borobudur yang menggambarkan penggunaan tanaman obat dan teknik pengobatan tradisional masa Jawa kuno.
“Bangsa kita sudah mengenal pengetahuan kesehatan jauh sebelum bangsa lain menuliskannya dalam literatur. Kita memiliki jejak sejarah yang tidak boleh diabaikan dalam membangun regulasi masa depan,” kata Taruna.
Biodiversitas: Fondasi Besar Masa Depan Kesehatan Indonesia
Prof Taruna menekankan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia, termasuk sekitar 1.845 spesies tanaman obat, dan lebih dari 283 produk obat bahan alam yang sudah terdaftar dan diproduksi industri nasional.
“Hutan tropis Indonesia menyimpan sekitar 80 persen tanaman obat dunia. Ini bukan hanya kekayaan biologis, tetapi juga peluang riset dan inovasi yang luar biasa,” ujarnya.
Potensi tersebut, lanjutnya, harus dikelola dengan pendekatan sains modern—mulai dari standardisasi bahan baku, uji praklinik, uji klinik, hingga inovasi teknologi farmasi seperti nanoformulasi dan fermentasi.
Dari Jamu Hingga Fitofarmaka: Tantangan Regulasi
Dalam kuliah ini, Taruna memaparkan perkembangan regulasi obat bahan alam di Indonesia, mulai dari jamu, obat herbal terstandar, hingga fitofarmaka. Tantangannya bukan hanya pembuktian ilmiah, tetapi juga integrasi produk-produk tersebut ke dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Menurutnya, penguatan riset kolaboratif berbasis triple helix — Academic, Business, Government — menjadi kunci. “Kita butuh inovasi. Kreativitas melahirkan gagasan baru, tetapi inovasi adalah tindakan nyata. Indonesia perlu keduanya untuk memperkuat kemandirian kesehatan nasional,” tegasnya.
Mahasiswa UNS: Menatap Masa Depan Regulasi Kesehatan
Kuliah umum yang berlangsung lebih dari satu jam itu ditutup dengan diskusi interaktif. Mahasiswa UNS banyak menanyakan peluang riset obat bahan alam, regulasi uji klinik, hingga strategi Indonesia menuju industri kesehatan yang mandiri.
Kuliah umum ini menjadi ruang belajar yang mempertemukan sejarah, ilmu pengetahuan, dan visi masa depan regulasi. UNS pun menegaskan komitmennya menjadi bagian dari penggerak sains kesehatan Indonesia.