Menteri ATR/BPN Akui Kesalahan Internal dalam Kasus Tanah PT Kalla vs GMTD di Makassar

Menteri ATR/BPN saat memberikan ke wartawan mengenai kasus tanah Jusuf Kalla. (ist)
menitindonesia, MAKASSAR — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengakui adanya kesalahan di internal BPN dalam kasus sengketa lahan antara PT Hadji Kalla dan PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD) di kawasan Tanjung Bunga, Kota Makassar.
Hal itu disampaikan Nusron saat memimpin rapat koordinasi pertanahan di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan, Kamis (13/11/2025).
“Kalau ditanya siapa yang salah pada masa itu? Ya orang BPN pada masa itu,” tegas Nusron di hadapan peserta rapat.
Menurutnya, BPN pernah menerbitkan dua sertifikat di atas lahan yang sama pada tahun berbeda. Ia menilai hal itu menunjukkan adanya kesalahan prosedur di internal lembaganya.
“Berarti ada yang tidak proper di internal kami. Soal apakah ada permainan dengan mafia tanah atau pihak luar, itu urusan lain. Tapi di dalam BPN sendiri, prosesnya tidak benar, dan itu harus kami akui,” ujarnya.
Nusron memastikan pembenahan sedang dilakukan agar kasus serupa tidak terulang, termasuk memperkuat pengawasan internal. “Tapi mafia tanah itu sampai kiamat kurang dua hari pun akan tetap ada. Yang penting orang BPN harus kuat, tidak tergoda, dan taat aturan,” katanya.
Ia menyebut kasus sengketa antara Kalla Group dan GMTD bisa menjadi momentum bagi masyarakat untuk memperbarui data sertifikat lama, terutama yang terbit antara tahun 1961 hingga 1997.

BACA JUGA:
Jusuf Kalla Datangi Lahan Sengketa di Tanjung Bunga, Sebut Klaim GMTD Rekayasa dan Perampokan

“Kasus tanah Pak JK itu sertifikatnya terbit tahun 1996. Ini jadi momentum bagi semua pemilik lahan lama untuk segera memutakhirkan datanya agar tidak tumpang tindih,” jelasnya.
Nusron mengungkapkan, BPN telah menerima surat dari pengadilan yang menyebut tanah milik Jusuf Kalla tidak termasuk dalam area eksekusi. Namun, menurutnya, ada banyak kejanggalan dalam pelaksanaan eksekusi di lapangan.
“Kami sudah kirim surat lanjutan ke Pengadilan Negeri Makassar untuk menunjukkan peta dan Nomor Identifikasi Bidang (NIB). Tapi yang jadi pertanyaan, yang dieksekusi itu tanah siapa? Karena lokasinya sama dan NIB-nya sama,” tegasnya.
Ia juga mempertanyakan pelaksanaan eksekusi yang dilakukan tanpa proses constatering atau pencocokan objek eksekusi dengan data di lapangan.
“BPN diundang untuk constatering tanggal 17 Oktober, rencananya 23 Oktober. Tapi di hari yang sama ada surat pembatalan. Lalu tiba-tiba tanggal 3 November ada eksekusi. Kami tidak tahu kapan constatering itu dilakukan,” ungkapnya.
Menurutnya, ada tiga fakta hukum yang kini harus diselesaikan. Pertama, adanya eksekusi pengadilan tanpa proses constatering. Kedua, gugatan TUN terhadap BPN oleh Mulyono terkait penerbitan sertifikat GMTD. Ketiga, keberadaan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama PT Hadji Kalla di lahan yang sama.
“Dari tiga fakta ini, baru satu yang dijawab pengadilan, yaitu tanah yang dieksekusi bukan milik Pak JK. Tapi bidangnya sama. Nah, ini yang sedang kami selesaikan,” kata Nusron.
Sebelumnya, BPN Makassar menyebut lahan seluas 16,41 hektare yang dieksekusi belum pernah diukur ulang. Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran BPN Makassar, Muh Natsir Maudu, mengatakan, pihaknya memang menerima permohonan constatering, namun belum sempat melaksanakannya.
Ia menjelaskan, di atas lahan tersebut terdapat dua perkara hukum berbeda: perkara perdata antara GMTD dan Manyombalang Dg. Sosong yang sudah inkracht, serta perkara TUN antara Mulyono dan GMTD yang masih kasasi.
Masalah makin rumit karena di area yang sama berdiri lahan bersertifikat HGB atas nama PT Hadji Kalla yang diterbitkan BPN pada 1996. Sengketa ini mencuat setelah Jusuf Kalla mendatangi langsung lokasi eksekusi di Jalan Metro Tanjung Bunga, 5 November 2025.
“Kami tidak ada hubungan hukum dengan GMTD. Yang mereka gugat itu penjual ikan. Masa penjual ikan punya tanah seluas ini? Itu rekayasa,” kata JK dengan nada tinggi.
JK juga menuding GMTD melakukan perampokan hukum dan menduga ada permainan mafia tanah di balik eksekusi itu. “Eksekusi harus didahului pengukuran. Mana orang BPN-nya? Tidak ada. Itu aneh,” ujarnya.
Ia menegaskan, tanah tersebut dibeli secara sah dari ahli waris Raja Gowa tiga dekade lalu dan sudah bersertifikat atas nama PT Hadji Kalla. “Itu permainan Lippo. Jangan main-main di Makassar,” tegas JK.
Sementara itu, Presiden Direktur PT GMTD, Ali Said, mengatakan pelaksanaan eksekusi sudah sesuai hukum. “Pelaksanaan eksekusi menandai berakhirnya sengketa panjang dan menjadi bukti nyata kepastian hukum di Indonesia,” ujarnya.