APAC Akui BPOM Pimpin Harmonisasi Regulasi Asia, Soroti Peran Taruna Ikrar

Kepala BPOM Prof. Dr. Taruna Ikrar, M.Biomed., PhD., menerima cenderamata dari delegasi Japan Pharmaceutical Manufacturers Association (JPMA) yang dipimpin Nobuo Murakami dalam pertemuan resmi di Kantor BPOM, Jakarta, 19 November 2025.
  • BPOM di bawah Taruna Ikrar semakin menegaskan pengaruhnya di Asia. Hal itu terlihat saat menerima kunjungan Japan Pharmaceutical Manufacturers Association (JPMA) dir Ruang Tama Kepala BPOM RI, untuk membahas posisi Indonesia sebagai penggerak harmonisasi regulasi obat pada APAC 2026 di Tokyo—mulai percepatan akses obat inovatif, perluasan reliance, hingga digitalisasi registrasi.
menitindonesia, JAKARTA — Pertemuan antara Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) dan Japan Pharmaceutical Manufacturers Association (JPMA) di Ruang Tamu Kepala BPOM, Rabu (19/11/2025), tidak hanya membahas undangan konferensi APAC ke-15 di Tokyo. Pertemuan itu, juga memotret posisi BPOM dalam lanskap regulasi farmasi Asia yang semakin menonjol.
BACA JUGA:
AirNav Indonesia Launching Jersey Runway Run 2025, Siap Gaet 3 Ribu Pelari
JPMA, melalui delegasi yang dipimpin Nobuo Murakami (Chair APAC Steering Committee), menyampaikan apresiasi langsung kepada Kepala BPOM Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D. Mereka menilai BPOM sebagai salah satu regulator paling aktif dalam mendorong harmonisasi kebijakan dan mempercepat akses obat inovatif di kawasan. “Kontribusi BPOM sangat menentukan arah diskusi regulasi di Asia,” ujar Murakami.
Penilaian itu muncul seiring reformasi kebijakan BPOM dalam dua tahun terakhir. Di forum APAC 2025 di Tokyo, BPOM tampil sebagai panelis utama pada sesi e-labeling dan mendapat sorotan karena pendekatan digital yang dianggap lebih maju ketimbang sejumlah negara Asia lainnya.

APAC Melihat BPOM Sebagai Penggerak Regulasi Asia

Dalam pembahasan tindak lanjut “3rd APAC Thanks Letter”, JPMA meminta pandangan BPOM mengenai perluasan reliance pathways serta rencana ASEAN Joint Assessment. JPMA menilai kebijakan percepatan registrasi obat inovatif yang dilakukan BPOM menjadi rujukan penting bagi negara ASEAN lain.
IMG 20251119 WA0005 11zon
Suasana pertemuan antara BPOM dan delegasi Japan Pharmaceutical Manufacturers Association (JPMA) bersama perwakilan IPMG di Ruang Tamu Kepala BPOM, Jakarta, pada 19 November 2025. Pertemuan membahas persiapan APAC ke-15 yang akan digelar di Tokyo pada April 2026.
Prof. Taruna menjelaskan bahwa BPOM telah mempercepat proses evaluasi registrasi obat inovatif melalui mekanisme reliance dari 120 hari menjadi 90 hari kerja berdasarkan PerBPOM No. 23 Tahun 2025. “Percepatan registrasi dilakukan tanpa mengurangi standar mutu dan keamanan,” jelasnya.
Yuji Yahiro, Director Global Coordination JPMA, menyebut langkah BPOM ini sebagai salah satu yang paling progresif di Asia. “Dari perspektif APAC, Indonesia menunjukkan komitmen kuat pada konsistensi, prediktabilitas, dan harmonisasi regulasi,” ujar Yahiro.
BACA JUGA:
Prabowo Terima Michael Bloomberg di Istana Negara, Bahas Penguatan SDM Indonesia
Selain isu reliance, JPMA juga menyoroti transformasi digital BPOM, terutama melalui program e-registration dan pilot e-labeling yang melibatkan 35 industri dan 244 produk. Jepang menilai integrasi e-labeling dengan standar HL7 dan FHIR sebagai langkah yang belum banyak dilakukan regulator Asia lainnya.

Perubahan Fokus Gugus Tugas MQS-TF dan Penguatan Kawasan

JPMA juga menjelaskan perubahan gugus tugas dari ATIM–TF menjadi MQS–TF (Manufacturing, Quality Control, and Supply), yang kini lebih fokus pada mutu produksi dan rantai pasok obat di kawasan Asia. Keiichi Kodama, pemimpin MQS-TF, mengatakan perubahan nama ini mencerminkan fokus kerja yang lebih realistis dan terukur.
Menurut Prof. Taruna, penguatan manufaktur dan mutu merupakan bagian penting dari siklus hidup produk farmasi. “Diskusi ASEAN maupun Asia tidak hanya tentang percepatan akses, tetapi juga memastikan mutu dan keberlanjutan pasokan,” katanya.

Kolaborasi Indonesia–Jepang untuk Uji Klinik dan Hilirisasi

Menutup pertemuan, BPOM mengusulkan agar APAC 2026 juga menjadi ruang pembahasan kolaborasi Academia–Business–Government (ABG) antara Indonesia dan Jepang. Fokusnya meliputi uji klinik—termasuk orphan drug—hingga hilirisasi farmasi di Indonesia.
Menurut Prof. Taruna, Indonesia memiliki ekosistem riset yang berkembang, sementara Jepang memiliki kekuatan inovasi. “Kolaborasi ini dapat mempercepat inovasi menjadi produk yang tersedia bagi pasien. Ini peluang yang ingin kami dorong,” ujarnya.
Pertemuan satu jam itu menegaskan satu hal: peran BPOM dalam APAC kini bergerak dari peserta menjadi pengarah arah harmonisasi regulasi Asia. (AE)