DPRD Maros Soroti Pengaruh Medsos di Peningkatan Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan

Ketua Komisi III DPRD Maros, Hj Haeriah Rahman. (Asrul)
menitindonesia, MAROS – Angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Maros kembali menunjukkan tren kenaikan. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) mencatat sebanyak 67 kasus hingga Oktober 2025. Jumlah ini hampir menyamai total laporan sepanjang 2024 yang mencapai 74 kasus.
Peningkatan kasus tersebut menjadi perhatian sejumlah pihak, salah satunya DPRD Maros. Ketua Komisi III DPRD Maros, Haeriah Rahman, menilai tren kenaikan ini tidak dapat dilepaskan dari semakin masifnya penggunaan media sosial di kalangan anak serta lemahnya pengawasan orang tua.
“Pergaulan anak-anak sekarang sangat bebas. Bahkan di rumah, mereka bisa mengakses berbagai hal lewat gawai tanpa pengawasan,” ujar Haeriah, Selasa (18/11/2025).
Menurutnya, akses internet yang terlalu longgar membuat anak semakin rentan terpapar konten negatif, termasuk tindakan yang berpotensi memicu kekerasan maupun eksploitasi. Ia menilai fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan perkotaan, tetapi juga mulai merambah ke wilayah pedesaan yang kini memiliki akses internet lebih luas.

BACA JUGA:
Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan di Maros Kian Meningkat, Mayoritas Pelaku Orang Terdekat

“Sekarang semua rumah punya gawai, punya internet. Anak-anak bisa lebih cepat terpengaruh tanpa ada filter,” tambahnya.
Haeriah juga mengkritisi efektivitas sosialisasi yang selama ini dilakukan DP3A. Menurutnya, program-program tersebut belum menyentuh akar masalah karena belum terintegrasi secara menyeluruh dengan pihak sekolah, keluarga, dan lingkungan masyarakat.
“Sosialisasi penting, tapi tidak cukup. Harus ada pendekatan yang lebih menyeluruh dan kolaboratif,” tegasnya.
Ia menekankan perlunya keterlibatan lebih besar dari pemerintah daerah, sekolah, lembaga perlindungan anak, hingga tokoh masyarakat dalam membangun lingkungan yang lebih aman bagi anak dan perempuan. Haeriah juga meminta agar langkah-langkah pencegahan diperkuat, tidak hanya berfokus pada penanganan setelah kasus terjadi.
“Kita harus mulai dari hulu, bukan hanya di hilir. Edukasi ke orang tua sangat penting karena mereka yang paling dekat dengan anak,” ujarnya.
Selain masalah pengawasan, Haeriah menilai meningkatnya keberanian masyarakat untuk melapor juga turut berkontribusi pada naiknya angka kasus. Meski demikian, ia menegaskan bahwa peningkatan laporan tidak boleh dijadikan alasan untuk mengabaikan upaya pencegahan dini.
“Bagus kalau masyarakat berani melapor, tapi pemerintah juga harus memastikan ada program kuat untuk mencegah kasus baru,” kata dia.
Haeriah berharap DP3A bersama pemerintah daerah dapat memperkuat sistem layanan terpadu bagi korban kekerasan, termasuk pendampingan psikologis, konsultasi hukum, serta perlindungan sementara bila dibutuhkan.
“Kasus-kasus ini tidak boleh berhenti di data saja. Korban harus mendapatkan perlindungan yang maksimal,” pungkasnya. (Asr)