Usulan Pilkada Lewat DPRD Mencuat, PKB: Semua Bergantung Putusan MK

Wakil Ketua Umum DPP PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal di acara Muswil PKB Sulsel. (ist)
menitindonesia, MAKASSAR – Diskursus soal kemungkinan perubahan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kembali menguat dan menarik perhatian partai politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan membuka ruang untuk mengkaji ulang skema pilkada melalui DPRD, dengan catatan menunggu adanya putusan baru dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Wakil Ketua Umum DPP PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menegaskan bahwa hingga saat ini dasar hukum yang berlaku masih mengacu pada putusan MK yang menetapkan pilkada dilaksanakan secara langsung oleh rakyat.
“Kalau kita merujuk pada putusan MK, kan sudah ditetapkan Pilkada masih tetap melalui proses pemilihan langsung,” ujar Cucun saat menghadiri Musyawarah Wilayah (Muswil) DPW PKB Sulawesi Selatan di Hotel Aryaduta, Makassar, Senin (8/12).
Meski demikian, Wakil Ketua DPR RI itu menyebut PKB tidak menutup kemungkinan untuk meninjau ulang sikap politiknya apabila terdapat judicial review baru di MK yang mengubah ketentuan tersebut.
Menurut Cucun, berbagai masukan dari pimpinan partai politik serta aspirasi daerah tetap menjadi bahan pertimbangan, terlebih pembahasan Undang-Undang Politik masih terus berlangsung.

BACA JUGA:
Muswil PKB Sulsel 2025, Azhar Arsyad Tekankan Keteguhan dan Loyalitas Organisasi

“Kalau nanti ada keputusan judicial review lain dan itu memungkinkan Pilkada dilakukan melalui DPRD, tentu akan kami pertimbangkan. Masukan dari pimpinan parpol dan daerah tetap kami dengar,” jelasnya.
Ia menambahkan, PKB saat ini terus memantau dinamika hukum di Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait potensi gugatan yang dapat mengubah konstruksi pemilihan kepala daerah.
“Kita lihat perkembangan apakah ada judicial review yang masih berjalan di MK. Semua tergantung putusan nantinya,” pungkasnya.
Sebelumnya, wacana pilkada melalui DPRD pertama kali digaungkan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Ia menilai skema tersebut dapat menjadi solusi untuk menekan tingginya biaya politik dan mengurangi praktik transaksional dalam pemilu langsung.
“Satu tahun lalu kami menyampaikan, keputusan pilkada dipilih lewat DPRD saja. Banyak pro dan kontra, tapi setelah kita mengkaji, alangkah lebih baiknya memang kita lakukan sesuai dengan pemilihan lewat DPR atau DPRD tingkat dua,” kata Bahlil.
Ia menilai Indonesia perlu merumuskan model demokrasi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa. Menurutnya, yang terpenting adalah menekan dominasi uang dalam politik agar kontestasi tidak hanya dikuasai kelompok berduit.
“Demokrasi harus kita bikin minimal ongkos politik. Supaya politik kita jangan ditentukan hanya orang-orang berduit,” ujarnya.
Dorongan tersebut juga mendapat respons dari Presiden Prabowo Subianto. Prabowo membuka peluang perubahan mekanisme pilkada menjadi tidak langsung melalui DPRD dengan pertimbangan efisiensi.
Ia menilai sejumlah negara telah menerapkan sistem demokrasi perwakilan dalam memilih kepala daerah, seperti Malaysia dan India, sehingga model tersebut bukan hal baru secara global.
“Kalau sudah sekali memilih DPRD kabupaten, DPRD provinsi, ya kenapa enggak langsung saja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai,” ujar Prabowo, Minggu (7/12).
Prabowo menambahkan bahwa sistem serupa juga digunakan oleh sejumlah negara maju. Menurutnya, demokrasi tidak harus mahal.
“Itu dilaksanakan oleh Malaysia, India, Inggris, Kanada, Australia. Negara-negara itu memakai sistem politik yang murah,” katanya.
Selain efisiensi biaya, Prabowo menekankan bahwa demokrasi Indonesia harus tetap menjunjung nilai gotong royong. Ia menilai kontestasi politik seharusnya berakhir saat pemungutan suara selesai.
“Persaingan pada saat bersaing. Begitu selesai, bersatu, kompak, gotong royong, kerja sama,” tegasnya.