menitindonesia – JAKARTA dirundung duka. Nurhasan, atau akrab disapa Cacang, mantan calon Bupati Maros, berpulang ke pangkuan Ilahi pada Rabu (15/1/2025) pukul 08.10 WIB di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Kabar kepergiannya meninggalkan kesedihan mendalam bagi para sahabat, kolega, dan masyarakat yang mengenalnya sebagai sosok pejuang yang gigih.
Nurhasan dilarikan ke rumah sakit usai mengalami gangguan kesehatan saat berolahraga di Kompleks Apartemen, Pramuka. Namun takdir berkata lain. Sosok yang dikenal religius dan penuh dedikasi itu kini tinggal kenangan, tetapi jejak perjuangannya tetap menginspirasi.
Kenangan Terakhir di Rumah Sakit
Saat melayat di kamar jenazah Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, tak kuasa saya menahan air mata. Seolah memori-memori masa lalu dengan Cacang terputar kembali, mengingat semua yang pernah kami lalui bersama.
Kenangan terakhir saya dengan Cacang terjadi hanya tiga hari sebelum kepergiannya. Pada Minggu, 13 Januari 2025, kami bertemu di Warkop PhoenamPungan, Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Seperti biasa, kami berbincang sambil menikmati kopi di meja yang sama.
Cacang berbicara banyak hal saat itu. Ia adalah pribadi yang religius, cerdas spiritual, dan penuh perenungan. Ia mengingatkan pentingnya memiliki daya tahan hidup di ibu kota serta menjaga silaturahmi sesama perantau dari Sulawesi.
Dalam diskusi itu, ia berbicara tentang takdir dan ketentuan Allah, menyampaikan bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh-Nya. Namun, ia juga menekankan bahwa perjuangan tetap harus dilakukan, asalkan tidak mencederai pihak lain. Sebagai seorang politisi, ia mengungkapkan keinginannya untuk bertarung di dapil Jawa atau Jakarta pada Pemilu mendatang, jika Allah mengizinkan.
Sayangnya, pertemuan itu menjadi momen terakhir saya bersama Cacang. Tiga hari kemudian, ia mendahului kita semua.
Masa Muda yang Penuh Semangat
Saya mengenal Cacang sejak masa kuliah pada 1997 di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia adalah mahasiswa IAIN, sementara saya dari Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin. Kami sering duduk berdua, berdiskusi hingga larut malam di Wisma HMI Jalan Botolempangan, Makassar.
Semangat dan idealisme Cacang kala itu sangat menginspirasi. Setelah reformasi, ia mencoba mengadu nasib di Jakarta. Saya masih ingat, suatu malam, pada tahun 1999, kami bermalam di masjid setelah ia datang ke Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia menemui Tamsil Linrung untuk meminta arahan dan dukungan.
Pelepasan Jenazah dan Doa Sahabat
Kepergian Cacang ke kampung halamannya di Maros turut dihadiri sejumlah sahabat dekatnya. Di antara mereka, Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, menyempatkan diri melayat di mobil jenazah.
Bahlil, yang pernah menjabat Bendahara Umum PB HMI saat Cacang menjadi wakil bendahara, mengenang sosoknya sebagai pribadi yang baik. “Cacang adalah teman kita, dia orang baik,” ucapnya sambil menepuk pundak saya usai memberikan doa.
Selamat Jalan, Cacang
Nurhasan bukan hanya seorang sahabat, tetapi juga seorang pejuang yang mencintai masyarakatnya. Keputusan mencalonkan diri sebagai Bupati Maros adalah bukti cintanya pada tanah kelahirannya. Meski ia tidak berhasil menduduki jabatan itu, perjuangannya tetap dikenang.
Selamat jalan, Cacang. Jejak langkahmu akan terus menjadi inspirasi bagi kami yang mengenalmu. Semoga Allah SWT memberikan tempat terbaik untukmu di sisi-Nya. (*)