Kepala BPOM Taruna Ikrar menghadiri forum CIIE 2025 di Shanghai, memaparkan reformasi izin uji klinis Indonesia yang kini dipangkas dari 300 hari menjadi 20 hari.
Dalam forum CIIE 2025 Shanghai, Kepala BPOM RI Taruna Ikrar memperkenalkan konsep ekosistem ABG yang memangkas waktu izin uji klinis dari 300 hari menjadi 20 hari, membuka era baru kolaborasi farmasi lintas batas.
menitindonesia, BEIJING — Di tengah hiruk-pikuk paviliun raksasa China International Import Expo (CIIE) 2025 di Shanghai, Selasa (11/11/2025), sosok Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D., tampak menonjol bukan karena jas putih laboratorium, melainkan setelan resmi dengan pin garuda di dada. Ia datang bukan sebagai ilmuwan yang meneliti di balik mikroskop, melainkan sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik Indonesia — lembaga yang kini sedang menata ulang lanskap inovasi farmasi nasional.
“Kami tidak hanya ingin menjadi pengawas. BPOM harus menjadi enabler bagi inovasi. Kami mendorong kolaborasi lintas sektor — akademisi, bisnis, dan pemerintah — untuk mempercepat alih teknologi dan riset farmasi,” ujar Taruna kepada media ekonomi Tiongkok, CBN, di sela forum internasional itu.
Taruna menyebut konsep ini sebagai ekosistem ABG — singkatan dari Academia–Business–Government. Konsep yang selama ini hidup dalam literatur inovasi, kini dihidupkan dalam praktik regulasi farmasi Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, BPOM bergerak cepat membangun jembatan antara dunia riset dan dunia industri.
300 Hari Jadi 20 Hari
Perubahan paling mencolok adalah reformasi radikal pada waktu persetujuan uji klinis. Jika sebelumnya perusahaan farmasi harus menunggu hingga 300 hari kerja, kini prosesnya dapat selesai hanya dalam 20 hari. “Ini efisiensi birokrasi,” kata Taruna. “Kita sedang menciptakan iklim yang sehat bagi inovasi kesehatan. Dunia farmasi bergerak cepat, dan regulator harus bisa berlari secepat itu.”
Langkah ini mendapat sambutan luas dari perusahaan farmasi global yang hadir di CIIE. Indonesia, dengan 280 juta penduduk dan pasar farmasi yang berkembang pesat, kini dilihat sebagai pemain potensial baru dalam riset obat dan bioteknologi.
Dari Neurosains ke Regulasi
Sebelum duduk di kursi Direktur BPOM, Taruna dikenal sebagai neurosaintis internasional dengan pengalaman panjang di laboratorium penelitian di Amerika Serikat. Latar belakang ilmiahnya memberi warna baru dalam kepemimpinan lembaga regulator.
Ia terbiasa berpikir dengan logika data dan evidence-based. “Saya membawa cara berpikir ilmiah ke dalam kebijakan publik,” ujarnya dalam beberapa kesempatan.
Pendekatan ini membuat BPOM bukan hanya lembaga pengawas, tapi motor inovasi nasional — tempat di mana sains dan kebijakan bertemu.
Lintas Batas, Lintas Ekosistem
Di Shanghai, Taruna tidak hanya berbicara soal izin uji klinis. Ia juga mengusulkan kemitraan riset lintas negara, terutama dalam pengembangan obat baru, vaksin, dan bioteknologi. “Kami ingin agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tapi juga pusat kolaborasi riset dunia,” katanya.
Ia memandang forum seperti CIIE bukan sekadar pameran dagang, melainkan ruang diplomasi sains. Di sinilah, katanya, terjadi transfer pengetahuan, bukan sekadar transfer produk.
Meski perubahan besar sedang digulirkan, Taruna sadar jalan ke depan tidak mudah. Reformasi regulasi butuh keberanian dan kepercayaan. Namun, ia yakin arah sudah tepat: membangun BPOM yang adaptif dan pro-inovasi tanpa mengorbankan keselamatan publik.
“Regulasi bukan untuk menghambat, tapi untuk memastikan inovasi berjalan aman dan berdampak,” katanya menutup perbincangan. (akbar endra)