Ilustrasi Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan. (AI)
menitindonesia, MAROS – Sekitar 1.700 hektare lahan sawah di Kabupaten Maros beralih fungsi dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Alih fungsi tersebut terungkap berdasarkan pembaruan Land Base System (LBS) yang dirilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada 2024.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Maros, Jamaluddin, mengatakan angka itu diperoleh setelah pemerintah daerah melakukan sinkronisasi data antara kondisi lapangan dan citra satelit.
“Data tahun 2019 mencatat luas sawah Maros mencapai 26.205 hektare. Setelah pembaruan LBS 2024, tersisa 25.276 hektare. Artinya sekitar 1.700 hektare sudah beralih fungsi,” kata Jamaluddin usai rapat konsultasi publik penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di Ruang Kerja Bupati Maros, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, perbedaan data terjadi karena ketidaksesuaian antara citra satelit dan kondisi riil di lapangan.
“Ada sawah yang tidak terbaca sebagai sawah, dan ada juga lahan non-sawah yang terbaca sawah. Karena itu kami lakukan pembaruan agar data satelit benar-benar sesuai kenyataan,” ujarnya.
Jamaluddin mengungkapkan, alih fungsi lahan paling banyak terjadi di wilayah yang mengalami pertumbuhan pesat. Perubahan fungsi sawah didominasi pembangunan perumahan dan kawasan industri.
“Moncongloe paling banyak berubah jadi perumahan karena masuk kawasan Maminasata. Di Marusu berkembang industri, sementara Turikale dan Mandai merupakan kawasan kota satelit. Ada juga sawah yang terdampak pembangunan rel kereta api,” jelasnya.
Ia menegaskan, lahan yang telah ditetapkan sebagai LP2B tidak boleh lagi dialihfungsikan dalam bentuk apa pun.
“Kalau sudah masuk LP2B atau LBS, tidak boleh ada alih fungsi. Ada konsekuensi hukum. Karena itu pembahasan LP2B ini kami lakukan sangat hati-hati, sudah empat bulan prosesnya,” tegas Jamaluddin.
Sementara itu, Wakil Bupati Maros Muetazim Mansyur menyebut pemerintah daerah telah menetapkan luas LP2B di Maros mencapai 19.163 hektare.
“Itu lahan yang betul-betul wajib dipertahankan dan tidak bisa dialihfungsikan,” kata Muetazim.
Ia merinci, kecamatan dengan cakupan LP2B terluas berada di Bantimurung dengan sekitar 3.305 hektare, disusul Cenrana seluas 2.509 hektare, dan Simbang sekitar 2.098 hektare.
Terkait maraknya sawah yang ditimbun untuk pembangunan perumahan, Muetazim menjelaskan hal itu kemungkinan terjadi karena lokasinya berada di luar kawasan LP2B.
“Kalau sudah masuk LP2B, izin tidak mungkin terbit. Sistem OSS langsung menolak. Tapi kalau di luar LP2B, izinnya bisa keluar,” jelasnya.
Meski begitu, ia menyebut beberapa jenis lahan sawah masih berpeluang dikeluarkan dari LP2B melalui kajian teknis.
“Seperti sawah yang tidak produktif, tidak punya irigasi teknis, atau hanya IP 1. Kalau hasil kajian pertanian menyatakan begitu, masih bisa dikeluarkan dari LP2B,” pungkas Muetazim.