Pakar Hukum Tata Negara UMI, Makassar, Fahri Bachmid. (Foto: ist)
menitindonesia, MAKASSAR – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim (UMI) Makassar, Dr Fahri Bachmid, SH, MH, menanggapi pergantian Sekretaris Daerah (Sekda) yang dilakukan Gubernur Maluku, Murad Ismail, beberapa waktu lalu.
Fahri mengatakan, tindakan Murad Ismail memberhentikan sementara Sekda Provinsi Maluku Kasrul Selang, dan mengangkat Sadil Le sebagai pelaksana harian, sudah didasari dengan adanya alasan-alasan tertentu.
“Jika terjadi kondisi faktual serta keadaan hukum tertentu, sarana hukum yang mengaturnya adalah Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya ketentuan pasal Pasal 214 yang mengatur bahwa apabila Sekda Provinsi berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekda dilaksanakan oleh penjabat yang ditunjuk oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat atas persetujuan menteri, ini juga sesuai Peraturan Pemerintah nomor 3 Tahun 2018 tentang Penjabat Sekretaris Daerah, ” kata Fahri Bachmid, dalam keterangannya kepada menitindonesia.com, Rabu (28/7/2021).
Lebih lanjut, dia bilang, yang menjadi pertanyaan substansial, apakah gubernur yang dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK), maupun sebagai wakil pemerintah pusat, berwenang sewaktu-waktu bisa melakukan penggantian Sekda?
“Merujuk pada beberapa peraturan perundang-undangan yang secara normatif mengatur terkait hal tersebut. Pertama, Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, sepanjang menyangkut ketentuan norma pasal 114 mengenai pengisian jabatan pimpinan tinggi di Instansi Pemerintah Daerah yang mengatur, pengisian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi dilakukan oleh Gubernur sebagai PPK dengan terlebih dahulu membentuk panitia seleksi,” ujarnya.
Advokat senior ini juga menambahkan, dari hasil seleksi itu kemudian panitia seleksi memilih 3 nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap 1 lowongan jabatan, dan tiga nama itu, kata dia, disampaikan kepada pejabat pembina Kepegawaian dalam hal ini Gubernur.
“Gubernur mengusulkan tiga nama calon Sekda itu kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Pesiden lalu memilih 1 nama dari 3 nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya atau Sekda,” kata Fahri.
Dia juga menegaskan, secara yuridis, Gubernur sebagai PPK pada hakikatnya diberikan atribusi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengisian maupun pergantian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi, setelah mendapat persetujuan Presiden.
“Jadi proses tersebut secara materill ada pada Gubernur sebagai PPK, tentu saja dengan alasan-alasan khusus yang secara hukum dapat dibenarkan, dan secara formil ada pada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN, serta desain hukum dalam Undang-Undang ASN,” ucapnya.
Dengan demikian, kata Mantan Pengacara Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi RI pada saat sengketa Pilpres 2019 lalu, idealnya penggantian Sekretaris Daerah oleh Gubernur lebih ditekankan pada perbaikan performa kerja.
“Artinya salah satu aspek yang cukup signifikan yang biasanya dievaluasi oleh Gubernur kepada Sekda definitif adalah terkait dengan unsur-unsur yang strategis seperti kinerja,” terangnya.
Konsekwensinya selain sebagai kepala daerah, kata dia, gubernur juga sebagai wakil pemerintah pusat di wilayah provinsi telah diperlangkapi dengan sejumlah atribusi kewenangan, termasuk soal pengisian maupun penggantian Sekda.
“Sudah seperti itulah desain hukum sekaitan dengan proses pengisian maupun penggantian Sekda,” pungkasnya. (andi esse)