Tanah Air Indonesia, tapi Bukan Milik Pemuda, Sumpah!

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Ostaf al Mustafa
KEPADA mereka generasi milenial ke bawah yang akan menjadi putra-putri Indonesia, maka kelak ketika menjadi pemuda, pasti semakin sulit untuk bertumpah darah satu. Tanah Indonesia semakin dicaplok kuasa asing. Bila di masa depan, putri-putri dari generasi Post Gen Z (lahir setelah 2013) akan melahirkan, maka di tanah mana, darah akan ditumpahkan bersama munculnya bayi-bayi baru? Mungkin rumah bersalin masih berada di dalam bentangan peta Indonesia, tapi status tanahnya sudah dicengkeram asing dan aseng.
Sebagai contoh, kini sertifikasi tanah dipermudah, bukan agar pribumi bisa memiliki sendiri sepetak tanah airnya. Itu hanya modus yang dilakukan rezim oligarki agar pihak asing semakin mudah melalap tanah. Selanjutnya, sertifikasi yang dilakukan secara masif akan mendorong percepatan (baca: akselerasi) pasar tanah karena semakin mudah tanah dikonversi menjadi secarik kertas, semakin mudah pula memperjualbelikannya untuk kepentingan investor, terutama investor asing. (Syamsul Hadi, et al., Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, Indonesia Berdikari, 2012: 157). Tak terbayang bagaimana kalian menumpahkan darah di atas kertas-kertas, yang tak pernah tertulis kepemilikan atas namamu lagi.
Mantan pemuda dari generasi pre boomer (lahir sebelum 1945), baby boomer (lahir 1946-1964), generasi X (lahir 1965-1980), generasi Y atau generasi milenial (lahir 1980-1995) hingga sebagian generasi Z (lahir 1996-2015), sudah melihat kenyataan betapa tanah semakin mudah diambil dengan kekerasan. Lihatlah, Babinsa pembela tanah rakyat didatangi Brimob bersenjata lengkap dipaksa untuk menghadap polisi. Bahkan Brigjen TNI Junior Tumilaar dengan segenap hati nuraninya juga turun membela Ari Tahiru seorang miskin dan buta huruf. Namun upaya terbaik itu membuat ia dicopot dari jabatannya sebagai Inspektur Kodam XIII Merdeka, usai surati Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ini hanya salah satu contoh, betapa cukup satu perusahaan developer saja sudah bisa berkuasa untuk membuat petinggi militer dikandaskan dengan cepat. Keburukan yang tak pernah terjadi di era Orba-nya pre boomer dan baby boomer.
Kini puluhan atau ratusan pengembang yang bisa berkuasa seperti itu, apalagi korporasi-korporasi yang menguasai tanah untuk pertambangan dan perkebunan, termasuk yang menjalankan program Lumbungan Pangan Nasional. Jadi masih mungkinkah generasi yang kini masih kanak-kanak bisa mengikrarkan Sumpah Pemuda dengan nyaring, lantang, berkeringat, dan menumpahkan darah?
Sekarang ikrar pertama sumpah itu, tiada lagi yang bisa dikumandangkan karena realitas tak sejalan dengan seranah itu. Bahkan juga tidak pada ikrar ketiga, “Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Di rezim oligarki radikal ini, semakin sedikit dari elite eksekutif, legislatif dan yudikatif yang mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Bukan dari EYD, PUEBI, hingga sesuai KBBI, tapi berbahasa tanpa hoaks, prank, halu, dan menipu dengan data fiktif. Di masa PPKM ekonomi kerakyatan hancur, tapi justru para pejabat semakin bertambah kekayaannya. Pesan-pesan kemanusiaan atau bangkitnya kemanusiaan dan seabu-abu dengan kalimat demikian semakin nyaring dikoarkan. Penambahan kekayaan tak normal memang bisa tertutupi kata-kata bergula itu.
Bagaimana dengan ikrar kedua? “Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia”. Lihatlah pada mereka yang sering teriak NKRI Harga Mati, tapi hasilnya mereka justru menjual Indonesia dengan harga sekarat. Jauh di bawah modal dan jumlah utang investasi yang semakin menggunung. Bila pandemi ini semakin panjang seperti jalan tol yang sering dijual murah itu, apakah para pemuda dari generasi baru masih mau berikrar sebagaimana isi sumpah Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, 93 tahun lalu? Beranikah mereka membuat serapah baru untuk mengutuk para penjual bangsa yang telah mengkhianati tiga ikrar mulia itu?
Jakarta, sehari setelah Sumpah Pemuda Generasi X