Menjaga Kredibilitas Penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 Pasca Pencopotan Ketua KPU

Penulis

Oleh : Mohammad Suaib Mappasila*)
menitindonesia – PADA tanggal 3 Juli 2024, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengambil langkah tegas dengan memberhentikan secara permanen Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari. Keputusan ini diambil setelah DKPP menemukan bukti yang cukup kuat bahwa Hasyim Asy’ari melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) berupa tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Peristiwa ini mengejutkan banyak pihak dan menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap penyelenggaraan Pilkada serentak yang akan berlangsung pada November 2024.
BACA JUGA:
Di Workshop Peliputan Pemilu/Pilkada 2024, Dewan Pers Ajak Jurnalis untuk Patuhi Aturan KPU
Kronologi kasus ini bermula pada akhir Juli 2023, ketika Hasyim bertemu dengan CAT, anggota PPLN Den Haag, pada acara Bimbingan Teknis (Bimtek) PPLN Pemilu 2024 di Bali. Pertemuan tersebut diikuti dengan pertukaran nomor WhatsApp antara keduanya, yang kemudian berlanjut dengan komunikasi yang semakin intensif. Pada tanggal 2-7 Oktober 2023, Hasyim melakukan kunjungan dinas ke Belanda untuk menghadiri kegiatan KPU di Den Haag. Pada malam hari tanggal 3 Oktober 2023, Hasyim mengajak CAT untuk bertemu di Hotel Van der Valk Amsterdam, di mana ia melakukan tindakan asusila terhadap CAT. Setelah pertemuan di Belanda, hubungan mereka terus berlanjut dengan beberapa kali pertemuan, baik di Eropa maupun di Indonesia, dengan Hasyim terus menerus berusaha merayu dan mendekati CAT untuk memuaskan hasrat pribadinya.
Pada tanggal 18 April 2024, CAT melaporkan Hasyim ke DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) berupa tindakan asusila. DKPP kemudian menggelar persidangan dan mempertimbangkan berbagai bukti, termasuk rekaman percakapan antara Hasyim dan CAT serta kesaksian dari beberapa saksi. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, DKPP memutuskan untuk memberhentikan secara permanen Hasyim Asy’ari dari jabatannya sebagai Ketua KPU pada tanggal 3 Juli 2024, dan merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo untuk segera melantik anggota KPU pengganti Hasyim Asy’ari.
BACA JUGA:
Pengamat Politik Sebut Suwardi Haseng – Selle Ks Dalle Berpeluang Lawan Kotak Kosong di Pilkada Soppeng
Pencopotan Ketua KPU ini memicu berbagai reaksi negatif dari publik. Banyak pihak khawatir bahwa kasus ini akan berdampak buruk pada penyelenggaraan Pilkada serentak pada November 2024. Secara kelembagaan, kasus ini menyebabkan ketidakstabilan dalam kepemimpinan KPU dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga ini.
Mengingat pentingnya peran KPU dalam penyelenggaraan pemilu, kasus ini berpotensi mengganggu persiapan dan pelaksanaan pemilu jika tidak segera ditangani dengan baik. Selain itu, kredibilitas dan legitimasi penyelenggaraan pemilu juga terancam, karena kasus ini berpotensi merusak citra KPU sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab menyelenggarakan pemilu. Kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan netralitas penyelenggara pemilu bisa terpengaruh negatif, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi partisipasi pemilih dan persepsi terhadap hasil pemilu.
Di sisi lain, keputusan DKPP untuk memberhentikan Hasyim Asy’ari menunjukkan bahwa mekanisme pengawasan internal terhadap pelanggaran etik dalam tubuh penyelenggara pemilu berjalan efektif. Hal ini penting untuk menunjukkan kepada publik bahwa ada sistem yang berfungsi untuk menegakkan integritas dan akuntabilitas dalam lembaga penyelenggara pemilu. Namun, langkah-langkah lebih lanjut perlu diambil untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan. Peninjauan terhadap kebijakan dan mekanisme internal KPU sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kode etik ditegakkan secara ketat dan tidak ada ruang bagi pelanggaran serupa.
Secara teoritis, kasus ini relevan dengan konsep good governance yang menekankan pentingnya partisipasi, aturan hukum, transparansi, responsivitas, orientasi konsensus, keadilan, efektivitas, dan efisiensi, akuntabilitas, serta visi strategis (UNDP, 1997). Implementasi prinsip-prinsip ini dalam lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU sangat krusial untuk menjaga kepercayaan publik. Selain itu, teori kepercayaan publik yang dikemukakan oleh Bouckaert dan van de Walle (2003) menyatakan bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat tentang integritas, kompetensi, dan keterbukaan lembaga tersebut. Pelanggaran etik oleh Ketua KPU jelas merusak persepsi ini, dan oleh karena itu, tindakan tegas seperti yang dilakukan oleh DKPP adalah langkah yang diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik.
Teori integritas lembaga yang dikemukakan oleh Huberts (2014) juga relevan dalam konteks ini. Menurut teori ini, integritas lembaga melibatkan kesesuaian antara nilai-nilai yang dianut lembaga dengan tindakan nyata yang dilakukan oleh para anggotanya. Dalam konteks ini, penting bagi KPU untuk mempertahankan integritas melalui penegakan kode etik yang ketat. Jika tidak, tindakan individu-individu tertentu dapat merusak reputasi keseluruhan lembaga dan menurunkan kepercayaan publik.
BACA JUGA:
Demokrat Sulsel Serahkan Surat Tugas Chaidir Syam – Suhartina Bohari Untuk Pilkada Maros, Ni’matullah: Peluang Kotak Kosong Terbuka
Untuk memulihkan kepercayaan publik dan menjaga integritas proses pemilu di Indonesia, DPR RI melalui Komisi II harus segera mengambil langkah-langkah strategis. Pertama, perlu dilakukan peninjauan terhadap regulasi yang mengatur kode etik dan perilaku anggota KPU. Peraturan ini harus diperketat untuk mencegah pelanggaran etik. Kedua, perlu diadakan pelatihan berkala tentang kode etik dan perilaku bagi anggota KPU dan stafnya, serta sosialisasi pentingnya menjaga integritas. Ketiga, perlu dilakukan audit internal secara berkala terhadap kinerja dan kepatuhan terhadap kode etik di KPU. Audit ini penting untuk mengidentifikasi potensi masalah sebelum berkembang menjadi krisis.
Selain itu, perlu diperkuat kerjasama antara KPU, DKPP, dan penegak hukum untuk memastikan penanganan yang cepat dan tegas terhadap pelanggaran etik. Transparansi juga harus ditingkatkan dengan menyediakan akses publik terhadap hasil audit, keputusan etik, dan tindakan yang diambil sebagai bentuk transparansi. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan terhadap KPU juga harus didorong untuk memastikan akuntabilitas lembaga tersebut.
Dalam melakukan berbagai upayanya, Komisi II DPR RI harus memastikan bahwa proses penanganan kasus ini dilakukan secara transparan dan adil. Hanya dengan cara ini, kepercayaan publik terhadap KPU dapat dipulihkan. Tujuan utama dari semua langkah ini adalah untuk menjaga integritas proses pemilu di Indonesia, yang merupakan fondasi dari demokrasi yang sehat dan berfungsi dengan baik.
Kasus pelanggaran kode etik oleh Ketua KPU memang telah berdampak negatif secara kelembagaan dan mempengaruhi kredibilitas KPU di mata publik. Namun, dengan penanganan yang tepat dan langkah-langkah preventif yang efektif, kepercayaan publik dapat dipulihkan. Hal ini sangat penting, terutama menjelang Pilkada serentak 2024, dimana kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu akan menjadi faktor kunci dalam memastikan partisipasi pemilih yang tinggi dan hasil pemilu yang sah dan diterima oleh semua pihak.
Dalam situasi yang penuh tantangan ini, langkah-langkah konkret yang diambil oleh para stakeholder seperti pemerintah, Komisi II DPR RI dan DKPP sangat diperlukan untuk menjaga integritas dan kredibilitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia. Hanya dengan cara ini, demokrasi Indonesia dapat terus berkembang dan memberikan hasil yang adil dan sah bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahualam bi Sawab…
*)Penulis adalah Staf Ahli Komisi III DPR RI / Direktur MZ Partnership / Sekjen IKAFE Unhas