Dibayar Ratusan Juta, Direktur JAK TV Dijadikan Tersangka: Ini Kata Dewan Pers

Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, saat digiring oleh penyidik Kejaksaan Agung usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan perintangan penyidikan dan pembuatan konten negatif soal Kejagung. (ist)
  • Kontroversi penetapan Direktur JAK TV sebagai tersangka oleh Kejagung memicu reaksi Dewan Pers. Apakah ini ranah etik jurnalistik atau delik pidana? Simak ulasan lengkapnya.
menitindonesia, JAKARTA – Sebuah babak baru dalam relasi antara media, penegak hukum, dan etika jurnalistik kini mencuat ke permukaan. Penetapan Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas dugaan membuat konten negatif soal Kejagung dan menerima uang ratusan juta, mengundang respons Dewan Pers.
BACA JUGA:
Bau Korupsi di Pupuk Indonesia? KPK Didesak Segera Usut Manipulasi Laporan Keuangan Rp8,3 T
Ketua Badan Perlindungan Profesi dan Hak Asasi Pers (BPPA) Dewan Pers, Bambang Santoso, menegaskan bahwa tindakan Kejagung semestinya diawali dengan pelaporan ke Dewan Pers terlebih dahulu.
“Sebaiknya dibawa dan diadukan dulu ke Dewan Pers dalam ranah etika jurnalistik,” kata Bambang kepada wartawan, Selasa (22/4/2025).
IMG 20250422 WA0005 11zon
Infografis Menit Indonesia
Menurut Bambang, jika memang terdapat pelanggaran dalam pemberitaan, proses penyelesaiannya bisa ditempuh melalui mekanisme sengketa pers, bukan langsung pidana. Apalagi, profesi jurnalistik memiliki perlindungan hukum yang spesifik berdasarkan UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Uang Tanpa Kontrak, Konten Bernuansa Pesanan

Namun, Kejagung memiliki pandangan berbeda. Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menyebut Tian Bahtiar menyalahgunakan kewenangannya. Ia diduga menerima uang Rp478,5 juta secara pribadi dari dua advokat, yakni Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, tanpa kontrak resmi dengan pihak JAK TV.
BACA JUGA:
Taruna Ikrar Teken Regulasi Ketat Stem Cell, Pelanggar Terancam Pidana
“Jadi uang itu masuk ke rekening pribadinya. Tidak ada kontrak tertulis antara JAK TV dan para pemberi dana,” ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung.
Dugaan tersebut mengarah pada pemufakatan jahat untuk menghalangi proses penyidikan, karena konten-konten yang dibuat dan disebarkan Tian dinilai menyerang kredibilitas Kejagung dan menyesatkan publik terkait kerugian negara dalam sejumlah kasus.

Ranah Pers atau Ranah Pidana?

Kontroversi ini memperlihatkan persimpangan tajam antara kebebasan pers dan delik hukum. Di satu sisi, media punya hak untuk memberitakan, bahkan mengkritik, institusi negara. Di sisi lain, jika terbukti ada motif transaksional dan kepentingan tertentu di balik pemberitaan, itu bisa melampaui batas etik jurnalistik.
“Kalau terbukti melanggar etik, bisa diselesaikan lewat Dewan Pers. Tapi kalau terbukti ada unsur pidana seperti suap atau pemufakatan, tentu aparat penegak hukum punya kewenangan,” ucap seorang pakar hukum media.
Kini publik menanti, apakah kasus ini akan menjadi preseden buruk bagi kemerdekaan pers, atau justru menjadi momentum pembersihan ruang redaksi dari praktik jurnalisme pesanan.
(akbar endra)