Taruna Ikrar Teken Regulasi Ketat Stem Cell, Pelanggar Terancam Pidana

Kepala BPOM Taruna Ikrar tertibkan terapi stem cell. (ist)

  • BPOM di bawah Prof. Taruna Ikrar menetapkan regulasi izin edar terapi stem cell. Pelanggaran terancam pidana 12 tahun dan denda Rp5 miliar. Upaya ini menjaga keselamatan publik dari praktik medis ilegal.
menitindonesia, JAKARTA — Di tengah euforia kemajuan teknologi kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengambil langkah tegas. Di bawah komando Prof. Dr. Taruna Ikrar, BPOM resmi menerbitkan regulasi baru yang mengatur peredaran terapi sel punca atau stem cell, terapi masa depan yang kian populer namun menyimpan potensi bahaya jika salah urus.
BACA JUGA:
NTB Didorong Jadi Lumbung Jagung Indonesia, Amran Sulaiman Janji Percepatan Swasembada
IMG 20250421 WA0010 11zon
Infografis (editor Menit Indonesia)
Teknologi ini dianggap sebagai jawaban bagi banyak penyakit degeneratif—dari cedera tulang belakang, gagal jantung, hingga luka kronis. Namun, di balik harapan itu, ada bahaya besar yang mengintai bila prosedur medis dilewati demi keuntungan semata.
“Kami tidak akan berkompromi. Produk terapi canggih seperti Advanced Therapy Medicinal Products (ATMP), termasuk stem cell, harus memenuhi syarat keamanan, mutu, dan khasiat. Tanpa izin edar resmi dari BPOM, itu pelanggaran hukum,” tegas Taruna dalam pernyataan resminya di Jakarta, Senin (21/4/2025).

Antara Janji Penyembuhan dan Ancaman Nyawa

Regulasi ini hadir bukan tanpa alasan. BPOM menemukan sejumlah praktik dari oknum pelaku usaha—dokter maupun klinik—yang mengklaim penggunaan stem cell secara legal, padahal belum memiliki izin edar. Publik pun dibuat bingung, antara percaya harapan sembuh atau terjebak pada praktik medis yang belum teruji.
Padahal, semua produk ATMP wajib melalui proses uji klinis ketat, validasi mutu, hingga pengawasan produksi. Tanpa tahapan itu, risiko kegagalan bisa berujung fatal: dari reaksi tak terduga hingga membahayakan nyawa pasien.
“Teknologi canggih tak boleh digunakan sembarangan. Justru karena ini terapi masa depan, maka semua pihak harus tunduk pada aturan,” ujar Taruna.

Ancaman Pidana hingga Rp5 Miliar

BPOM tak sekadar memberi imbauan. Ada sanksi tegas bagi yang melanggar. Berdasarkan Pasal 435 UU Kesehatan, pelaku yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi ilegal bisa dikenai pidana penjara hingga 12 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
Langkah ini sekaligus jadi peringatan bagi kalangan medis dan industri: jangan coba bermain-main dengan keselamatan publik.

Dorongan Kolaborasi, Riset, Industri, Regulator

Meski keras di sisi hukum, BPOM tetap membuka pintu kolaborasi. Taruna Ikrar menegaskan, keberhasilan pengembangan terapi regeneratif membutuhkan kerja sama erat antara peneliti, pelaku industri, dan regulator.
“Tujuannya jelas: agar masyarakat terlindungi dan industri terapi canggih berkembang sehat. Regulasi ini bukan penghambat, tapi pengarah,” ungkap Taruna.
Langkah strategis BPOM ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia tak tinggal diam menghadapi revolusi medis global. Di saat negara-negara lain berlomba memanfaatkan bioteknologi, Indonesia memilih jalur ketat demi memastikan keselamatan rakyat tetap jadi prioritas utama.
(akbar endra)