Delegasi BPOM RI yang dipimpin oleh Prof. Taruna Ikrar disambut hangat oleh manajemen CSPC Pharmaceutical di Shijiazhuang, Provinsi Hebei, Tiongkok.
Oleh Akbar Endra (Staf Ahli Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Bidang Medsos dan Humas)
menitindonesia, ESAI — Di lembah industri farmasi kota Shijiazhuang, Provinsi Hebei, Tiongkok, tampak sebuah pertemuan yang, menurut saya, sebuah ritual transformasi — di mana riset, regulasi, industri dan diplomasi bersatu: satu visi besar untuk kesehatan masyarakat Indonesia dan Tiongkok.
Ketika delegasi BPOM tiba di kota ini, Kamis 6 November 2025, mereka menyentuh denyut jantung industri obat-obatan Tiongkok, di mana manufaktur besar seperti CSPC Pharmaceutical Co., Ltd. berdiri kuat. CSPC adalah produsen besar vitamin C, vitamin B12, dan—yang paling strategis—obat inovatif seperti NBP (Butylphthalide) untuk stroke iskemik. Kunjungan Kepala BPOM RI, Prof dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D., didampingi oleh Deputi I dr. William Adi Teja, MD., BMed., MMed., dan Kepala Biro Kerjasama dan Humas Lynda K. Wardhani, S.E., M.Si., Ph.D., adalah simbol bahwa “obat” bukan cuma “barang” tapi juga “hubungan antarbangsa”.
Prof. Taruna menyebut, kunjungan ini sejalan dengan amanah Presiden RI dan Perdana Menteri RRT: memperkuat sistem kesehatan, menyediakan obat yang terjangkau, dan mendorong diplomasi kesehatan berbasis konsep ABG (Academic-Business-Government). Pernyataan ini bukan retorika kosong—melainkan inti dari apa yang disebut para akademisi sebagai global health diplomacy (ketika kesehatan masyarakat dan kebijakan luar negeri bersinggungan).
Kesehatan sebagai Diplomasi, Regulasi sebagai Jaminan
Dalam literatur, istilah global health diplomacy didefinisikan sebagai “praktik di mana pemerintah dan aktor non‐negara berupaya mengoordinasikan solusi kebijakan global untuk meningkatkan kesehatan masyarakat”.
Dari sisi regulasi, BPOM di bawah Prof. Taruna berkomitmen bahwa inovasi harus tidak mengorbankan keselamatan. Rangka regulasi yang kuat dibangun agar kolaborasi lintas negara bisa mempercepat akses terapi mutakhir, tanpa mengabaikan mutu, keamanan, dan etika. Ini selaras dengan pemikiran ahli seperti Ilona Kickbusch yang mengatakan bahwa kesehatan global bukan hanya urusan medis, melainkan juga governance, kebijakan luar negeri, ekonomi dan masyarakat. Jadi kunjungan di Hebei bukan hanya teknis—ia adalah dialog nilai, antara Indonesia dan Tiongkok, antara riset dan regulasi, antara negara maju teknologi dan negara berkembang.
Pada kunjungan itu, Prof. Taruna dan delegasi BPOM menyorot terapi stroke, bioteknologi dan sistem penghantaran obat—termasuk NBP yang setiap jamnya diproduksi ribuan ampul di CSPC, dan direncanakan diedarkan di Indonesia.
Ini adalah ilustrasi nyata bahwa inovasi tidak berhenti di laboratorium: ia harus dilanjutkan melalui regulasi, produksi, distribusi, hingga penerimaan oleh masyarakat. Dan dalam konteks diplomasi kesehatan, ini berarti “akses” menjadi amat penting—akses yang aman, efektif, terjangkau.
Sebuah teori sederhana namun mendalam: inovasi tanpa akses mirip pohon yang berbuah tapi tidak bisa dipetik oleh orang banyak.
Kunjungan ini juga menggarisbawahi sinergi antarnegara untuk menjalin kemitraan Indonesia-Tiongkok dalam ilmu pengetahuan dan kesehatan masyarakat. Kerja sama G‐to‐G (pemerintah ke pemerintah) antara BPOM dan Provinsi Hebei ditargetkan pada harmonisasi regulasi, pertukaran informasi, peningkatan kapasitas—yang semuanya menyokong visi ABG.
Dalam skema diplomasi kesehatan, manfaatnya dua arah: Tiongkok berbagi teknologi, Indonesia mendapatkan transfer keahlian—dan masyarakat Indonesia pada akhirnya memperoleh terapi dan layanan yang lebih baik.
infografis
Dimensi Filosofis dan Etis
Lebih jauh, kunjungan ini menyentuh ranah filsafat kesehatan: bahwa kesehatan bukan saja hak individu, tetapi hak kolektif antarbangsa. Dalam wacana filsafat medis, kita sering bicara tentang “kesehatan sebagai kebebasan” (menurut Amartya Sen) — yaitu kebebasan untuk hidup penuh, produktif, tanpa hambatan penyakit. Dalam konteks global, kebebasan ini menjadi lintas batas—seorang pasien di Indonesia membutuhkan obat yang standar internasional, bukan versi “tertinggal”.
Prof. Taruna dengan kata‐katanya menegaskan bahwa “kesehatan adalah jembatan kemanusiaan yang menyatukan bangsa.” Ia menyatakan bahwa kolaborasi riset dan regulasi melalui konteks ABG adalah wujud konkret dari filosofi itu.
Tentu saja, jalan ke sana tidak mulus. Buku-buku tentang global health diplomacy menyebut berbagai tantangan: perbedaan regulasi antarnegara, kultur ilmiah yang berbeda, kepentingan bisnis, dan isu perdagangan serta keamanan. BPOM harus menjaga agar kerja sama ini tidak menjadi “jalur impor cepat” tanpa pengawasan mutu, dan agar inovasi tidak hanya menguntungkan sebagian pihak. Prof. Taruna sudah menegaskan niat untuk menjaga mutu, keamanan, efektivitas—dan memperkuat regulasi sebagai fondasi.
Kunjungan ke Shijiazhuang merupakan langkah awal dari babak baru. Dengan fondasi yang dibangun, BPOM di bawah Prof. Taruna bersiap memperluas kolaborasi: pelatihan bersama, dialog teknis, pertukaran regulasi, dan penguatan kapasitas lembaga pengawas kedua negara. Semua dimaksudkan agar obat dan produk kesehatan yang beredar benar-benar memenuhi standar internasional—untuk Indonesia, untuk Tiongkok, dan bahkan global.
Dan, begitulah. Ketika Prof Taruna, dr. Willi dan Ibu Lynda melangkah keluar dari pabrik CSPC di Shijiazhuang menuju malam Hebei yang dingin, mereka membawa gagasan: bahwa kesehatan tidak mengenal batas negara; bahwa regulasi dan inovasi harus berjalan bersamaan; bahwa diplomasi bukan hanya datang jabat tangan—tapi kerja nyata untuk masyarakat.
Prof. Taruna Ikrar—dengan visi, integritas, dan kapabilitas ilmiahnya—menjadi jembatan antarnegara dan antar‐ilmuwan. Kunjungan ini adalah salah satu babak penting dalam perjalanan panjang Indonesia menuju kemandirian farmasi, kemitraan riset global, dan akses kesehatan universal.
Dengan demikian, kita bisa membaca kunjungan ini sebagai metafora besar: ketika sains bertemu diplomasi, industri bertemu regulasi, dan negara bertemu rakyat—maka kesehatan bersama menjadi mungkin.