Agar Tito Karnavian Paham Aturan

Foto: Istimewa
Oleh Akbar Endra
(penjual telur ayam)
INSTRUKSI penegakkan protokol kesehatan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2020, yang menyatakan Kepala Daerah bisa diberhentikan bila tak menegakkan protokol kesehatan, adalah instruksi yang ngawur dan memerihkan akal sehat. Dalam instruksinya Mendagri mengacu pada UU 23 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 67 b dan pasal 78.
Upaya menegakkan protokol kesehatan di masa Pandemi Covid 19, sebenarnya aturannya sudah jelas. Semua sudah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku seperti PP nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB. Aturan ini lalu ditindak lanjuti dengan peraturan menteri kesehatan serta pejabat lainnya.
Nomenklatur PP tersebut mengacu pada UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Nah, pelaksanaan undang tersebut di daerah, tentu harus mengacu pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Mendagri sepertinya tidak mencermati secara runtut undang-undang tersebut di atas sebelum menerbitkan instruksi kontroversial, yang menurut padangan saya, sangat keliru. Sehingga, instruksi itu banyak ditertawai dan diledek warga dalam diskusi di sosial media. Bahkan ada yang menyebutnya, ini tak masuk akal. Terkesan Mendagri bisa memecat gubernur, bupati atau walikota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 67 huruf b UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, semua kepala daerah memang wajib melaksanakan semua peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan yang mengatur Penegakan Protokol Kesehatan.
Nah. Bagaimana jika kepala daerah tidak melaksanakan aturan protokol kesehatan dalam menghadapi pandemi Covid 19 sesuai dengan peraturan perundang-undangan? Selanjutnya, apakah pasal ketentuan pada pasal 78 bisa dipakai: kepala daerah dapat diberhentikan dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah sebagaimana yang termaktub dalam pasal 67 huruf b UU 23 tahun 2014, sebagaimana maksud Mendagri dalam instruksinya itu?

Jangan Gila Urusan

Instruksi Mendagri itu, tidak bisa menjadi dasar untuk memberhentikan kepala daerah (gubernur, bupati atau walikota). Jangankan instruksi Mendagri, instruksi Presiden pun tidak bisa begitu saja memberhentikan kepala daerah. Negara ini bukan negara otoriter. Sejak reformasi digulirkan, prinsip-prinsip demokrasi yang elegan selalu menjadi landasan filosofis dalam menyusun undang-undang. Jangan gila urusan.
Instruksi Presiden dan Instruksi Menteri tak lebih sebagai perintah tertulis dari atasan kepada jajaran di bawahnya. Bukan peraturan yang harus ditegakkan, tapi hanyalah sebatas perintah yang harus dilaksanakan oleh jajaran di bawahnya.
Di dalam UU No 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tidak lagi dikenal istilah Instruksi Presiden apalagi Instruksi Menteri dalam perundang-undangan kita. Tujuan dari undang-undang tersebut, adalah mengakhiri instruksi-instruksi presiden yang banyak dibuat di masa Presiden Soeharto yang mengakibatkan dia menjadi presiden diktator dan korup.
Dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu, ada ancaman kepada kepala daerah yang tidak melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu tidak bisa dilaksanakan, karena instruksi menteri ini, tak hanya menabrak undang-undang yang ada, tapi juga menabrak etika berpolitik dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pemberhentian kepala daerah harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Mendagri Tito Karnavian harus tahu isi undang-undang tersebut terlebih dahulu. Bahwa, undang-undang tersebut telah menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada rakyat melalui Pilkada yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) – dan catat, KPU bukan anak buah Mendagri.
KPU adalah satu-satunya lembaga yang berhak menetapkan pasangan mana sebagai kepala daerah. Misalnya, KPU DKI Jakartalah yang menetapkan Anies Baswedan sdebagai Gubernur terpilih. Bukan melalui instruksi presiden atau instruksi Mendagri.
Pasangan manapun yang ditetapkan KPU sebagai pemenang Pilkada, tidak dapat dipersoalkan apalagi dibatalkan melalui Instruksi Mendagri. Alasannya instruksian-instruksian itu telah dihilangkan dalam perundangan-undangan untuk menghindari tindakan diktator kekuasaan yang bisa mengkudeta segala keputusan hukum.
Dalam undang-undang tentang Pemda sudah jelas: Presiden atau Mendagri tinggal menerbitkan Keputusan tentang Pengesahan Pasangan Gubernur atau Bupati/Walikota terpilih dan melantiknya. Dengan demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentian kepala daerah atau wakil kepala daerah. Jangankan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati saja, Mendagri tidak punya kewenangan untuk memberhentikannya.

Hanya DPRD Yang Bisa Berhentikan Kepala Daerah

Kalau mau memberhentikan kepala daerah dengan alasan melanggar perundang-undangan, bukan dengan cara menerbitkan Instruksi yang kemudian menjadi bahan tertawaan bagi Rocky Gerung. Sebab urusan pemerintahan ada aturannya, tidak boleh memakai cara-cara Soeharto yang banyak menerbitkan instruksi-instruksi yang membentuknya menjadi seorang diktator.
Proses pemberhentian kepala daerah, termasuk dengan alasan tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, harus dilakukan melalui DPRD. Jika DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment).
Jika DPRD berpendapat cukup alasan kepala daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan, apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak. Untuk tegaknya keadilan, maka Kepala Daerah yang akan dimakzulkan itu, diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri.
Jadi sangat  jelas, bahwa Presiden apalagi Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan kepala daerah karena kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD.
Kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah terbatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses pengusulan oleh DPRD dalam hal Kepala Daerah didakwa ke pengadilan dengan ancaman pidana di atas lima tahun. Atau didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, kejahatan terhadap keamanan negara atau kejahatan memecah-belah NKRI.
Kalau dakwaan tidak terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya
Sebagai bagian dari rakyat kecil yang jauh dari hiruk pikuk kegaduhan di Jakarta, saya harus bicara lantang dan meminta kepada Presiden Jokowi agar menegur Menteri Tito Karnavian, karena telah menerbitkan instruksi Mendagri tersebut – yang menurut saya sangat tidak pantas dilakukan. #