Debat Seru di Maros TV, Rocky Gerung Sebut Pemerintahan Jokowi Gagal Atasi Pandemi dan Mesti Diganti

Akbar Endra dan Rocky Gerung berduel pikiran di Maros Tivi. (Foto: ist)
menitindonesia, MAROS – Pengamat Politik Rocky Gerung, mengatakan Indonesia bukan negara gagal, tapi yang gagal pemerintahnya karena gagal menyelesaikan pandemi. Pernyataan Rocky ini disampaikan dalam acara Wacana (wawancara dan narasi), live streaming di Channel YouTube Maros TV, Minggu, (15/8/2021).
“Waktu dipilih rakyat, 80 persen pemilih Jokowi mengandalkan kepemimpinan (leadership), tapi diperjalanan leadership tidak terjadi. Yang ada adalah ‘dealership’ pemerintah. Itulah yang menyebabkan pemerintah gagap, karena pemerintah itu harusnya jadi leader bukan jadi dealer,” kata Rocky Gerung.
Bahkan, lanjut Rocky, dulu bukan hanya rakyat yang membanggakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menghasilkan new hope (harapan baru). Waktu Jokowi terpilih, ujar Rocky, majalah Time bikin cover story: Indonesia, headlnineya, potret Jokowi The New Hope.
“Sekarang terbalik. Kita dianggap tidak ada harapan. Jadi sebetulnya negeri ini diolok-olok oleh pers asing, bukan pada negerinya tapi pada presidennya. Itu terbaca jelas, semua orang menganggap presiden adalah ‘king of lips service’, dia adalah man of inskontitusi. Yang selalu disebut presiden. Tidak pernah negeri Indonesia diolok-oleh di luar negeri apalagi sejak Covid, dianggap pemerintah Indonesia gagal mengatasi Covid, bukan negara,” jelasnya.
Pembawa acara (host), Akbar Endra, meluruskan cara berpikir Rocky Gerung yang menilai pemerintah gagal menyelesaikan pandemi. Sebab, kata dia, hampir semua negara mengalami hal yang sama dan persoalan pandemi sudah mulai masuk ke dalam persoalan politik. Akbar mencontohkan apa yang terjadi di Malaysia.
“Di Malaysia, masyarakatnya melakukan demonstrasi menuntut Perdana Menteri, Muhyidin, mundur karena dianggap gagal. Jadi kegagalan mengatasi pandemi Covid-19 ini, juga terjadi di negara lain, bukan cuma di Indonesia,” ujar Akbar.
Rocky lalu membantah pernyataan Akbar Endra. Dia mengatakan jalan logika dalam pikirannya yang disebut logika aportionis yang artinya, kata dia, bahkan Malaysia saja pemerintahnya diminta mundur padahal cara menangani pandemi lebih baik dari Indonesia.
“Apakah Malaysia tercatat sebagai penyandang Covid terburuk di dunia? Tidak. Bahkan Malaysia yang mendingan caranya nangani Covid, pemerintahnya disuruh mundur, aportionis, apalagi Indonesia yang betul-betul buruk, berpikirnya harus begitu,” ujarnya.
Akbar lalu menanyakan kepada Rocky Gerung apa sesungguhnya yang menyebabkan pemerintah dianggap gagal dalam menangani pandemi dan solusinya menurut Rocky seperti apa? Menjawab pertanyaan itu, Rocky lalu menegaskan, bahwa solusinya adalah pemerintah harus diganti karena stupid.
“Ya solusinya, pemerintahan yang gagal ya harus diganti, bukan rakyatnya yang diganti. Kan dianggap dia dipilih oleh rakyat, karena itu kegagalan presiden dibebankan kepada rakyat, berarti rakyatnya harus diganti. Kan itu dungu kan logikanya. Yang musti diganti yang gagal, bukan yang memilih. Yang memilih tadi punya harapan karena yang dipilih punya janji,” ujar Rocky.
Namun, Akbar kembali menyanggah pernyataan Rocky Gerung tersebut, sebab, ujar Akbar, tidak ada jaminan sama sekali kalau pemerintah diganti, maka penggantinya berhasil menangani pandemi Covid-19. “Urusannya adalah wabah, virus penyakit yang menular. Tidak ada jaminan bisa diselesaikan secara instan,” ucapnya.
Debat seru pun akhirnya terjadi antara host dengan narasumber tersebut. Akbar menyebut bahwa Jokowi adalah produk demokrasi yang elegan dan hasil dari civil society, sehingga proses penggantiannya pun harus melalui proses demokrasi yang konstitusional dan elegan, yakni Pemilu 2024.
Lalu Rocky menyanggah pernyataan Akbar Endra. Dia mengatakan Jokowi datang di saat Indonesia sudah menjadi negara demokrasi sejak tahun 1998. Namun, kata Rocky, faktanya adalah ketika Jokowi berkuasa indeks demokrasi menurun, dan masa Jokowi lebih buruk dari masa Presiden SBY.
“Demokrasi kita dihasilkan oleh konstribusi masyarakat sipil dan partai politik. Cuman itu. Kalau kita mau menaikkan indeks (demokrasi), masyarakat sipil tegakkan kembali prinsip-prinsip civil and value,” ujarnya.
Selain itu, Rocky juga menilai partai politik di Indonesia gagal menjalankan fungsi sebagai watch dog pemerintah, dan masyarakat sipil, ujar dia, gagal mengaktifkan diskursus yang berbasis argumentasi.
“Perbincangan di Maros tivi ini, adalah diskursus masyarakat sipil supaya kita jujur dalam berargumentasi. Ada duel pikiran, di sinilah kehangatan warga negara tercapai,” ucap Rocky.
Akbar lalu menjelaskan, perbandingan demokrasi di tiga negara, yaitu di Prancis, Amerika dan Indonesia. Kata dia, di Prancis demokrasi dijalankan untuk menbangun kesetaraan manusia, di Amerika demokrasi dibangun untuk kebebasan manusia. Sedangkan di Indonesia, ujar Akbar, sistim demokrasi dijalankan, tapi yang tumbuh subur adalah politik oligarkis.
Rocky menyetujui pernyataan Akbar Endra tersebut dan mengajak para aktivis untuk turun gunung bersama-sama melawan politik oligarkis.
Menurut Rocky, pada tahun 2024 nanti, akan kembali menjadi tempat beternak bagi politisi oligarki, karena itu dia menyarankan perubahan dilakukan di luar sistim elektoral.
“Saya ingin ke Maros, karena duel pikiran seperti ini menarik. Saya ingin civil society bisa bengkit di Maros dan Maros Tv menjadi wadah kebangkitan demokrasi dan civil Society di negeri ini,” pungkas Rocky Gerung. (andi esse)