Muliakan Raja Radikal di Republik Oligarki

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Oleh Ostaf al Mustafa
VOLUME pengeras suara sebaiknya diturunkan mendekati hening. Bila masih menggunakan baterai, maka megafon Toa yang legendaris itu seharusnya disenyapkan. Bentangan spanduk semestinya tak perlu dibubuhi tulisan apapun. Para orator juga perlu merapatkan mulut dan menenangkan pita suara. Perlakukanlah sebaiknya-baiknya pada seorang raja yang berada di sebuah republik. Apalagi bila sebelumnya dalam bahasa Inggris, ia juga disebut The King. Bila hendak mengeritik, lakukan dengan sesantun-santunnya. Ajak sang raja bertemu di suatu tempat yang sepi dan jarang didatangi orang, sehingga martabatnya jangan menurun dari istimewa empat telor menjadi menjadi spesial tiga telor, apalagi menuju level biasa dengan satu telor. Gelar-gelar itu mungkin serapuh kulit cangkang, makanya jangan sampai suara kecaman terlontar berbunyi sekeras batu dan meretakkannya.
Bila tidak berkapasitas sehebat Prof Didik Rachbini, maka sebaiknya jangan ikut-ikut membuka aib utang pada sang raja. Jika tidak kuliah di UI, maka tak usah mengusik the King dengan julukan berbahasa Inggris. Bila bukan mahasiswa UGM, jangan sembarangan memberikan gelar juara kepada presiden. Lagi pula tanpa melakukan kompetisi apapun, mengapa bisa menyabet pemenang sendirian? Malah, sebelumnya bukan top dog, juga tak diunggulkan sebagai underdog dan black stallion (kuda hitam). Jika memang bukan mahasiswa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar tak usah ikut mengganjar kartu merah untuk seseorang yang engkau pasti tahu siapa dia. Sesuai konstitusi, di negara ini hanya ada seorang presiden, mengapa pula mahasiswa UGM membuat gelar Presiden Orde Paling Baru? Sebutan sebagai raja dan the king, sudah digunakan. Masih tersisa gelar kaisar, tapi mungkin sudah didahului oleh motor roda tiga.
Di era feodal−demokrasi oligarki juga demikian−pada kekuasaan raja, kepentingan publik dan privat berada di tangannya semata. Termasuk ketika kerajaan membutuhkan pasokan modal, maka pengambilan utang tak lagi diketahui sebagai urusan publik dan privat. Hal demikian terbaca pada pandangan yang mengulas pemikir Prancis, Bourdieau. Perpaduan antara publik dan privat ini ditangkap dalam pernyataan apokrif (pernyataan yang tidak diketahui sumber dan keasliannya) yang dikaitkan dengan Louis XIV, bahwa ‘L’Etat, c’est moi.’, ‘Negara adalah saya’. (Stevan Loyal, Bourdieu’s Theory of the State: A Critical Introduction. Ireland: Palgrave Macmillan, 2017:101). Ketika utang negara sudah melampaui tingginya batas imajiner tol langit, maka tentu hal demikian hanya bisa dilakukan seorang yang berkuasa sebagai raja.
Demokrasi oligarki kini melampaui Demokrasi Terpimpin Soekarno, yang meletakkan presiden dalam kuasa seperti raja, sehingga pantas saja pakar ekonomi dari Institute for Developmet of Economics and Finance (INDEF) memberi julukan Raja Utang pada Sang J*****. Lebih lanjut, Loyal menambahkan di halaman yang sama yakni meskipun negara dipandang sebagai perpanjangan tangan raja dan sebagai kepemilikan pribadinya, peran raja melampaui individu, sebagaimana yang dicatat oleh Kantorowicz (1957). Kala julukan raja di arahkan pada seorang presiden, itu karena negara seakan-akan milik pribadinya bersama mereka yang menjadi bagian dalam oligarki radikal itu.
Kini pilihan itu terserah pada mereka yang kritis, apakah akan diam-diam memberi nasehat pada sang raja. Namun tentu ini mustahil dilakukan, karena sudah tersedia penasehat berbayar di lingkar istana. Opsi lainnya diserahkan kepada mahasiswa dan para profesor yang tak mau berdiam diri dalam senyap, hening, dan mati kutu.
Jakarta, 5 November 2021