‘Presidenulasi’, Omong Kosong Level Empat

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Oleh Ostaf al Mustafa
TERDAPAT empat level omong kosong yakni rendah, sedang, tinggi, dan yang diucapkan presiden. Ketika era komunikasi efeknya masih berlaku seperti jarum suntik dan terjangan peluru, maka kedustaan pasti terjadi searah. Bila seorang diplomat hingga presiden berbohong untuk negaranya, maka tak akan ada yang akan menanggapinya seketika itu juga. Bila pun ada yang bereaksi, maka bisa muncul berpekan-pekan kemudian, mungkin juga setahun setelahnya atau malah tidak ada sama sekali hingga seabad berlalu. Hingga akhirnya diabaikan dalam sejarah dan ditulis hanya sebagai catatan kaki. Betapa lemahnya sikap responsif seseorang terhadap kibul demikian. Bahkan dianggap perkataan bongak seperti itu tak lebih dari menghamburkan garam pada lautan. Tidak akan berpengaruh apapun, ucapan dusta sang kepala negara pada siapapun di suatu negeri.
Ketika Sir Henry Wotton (1568 – 1639) melakukan misi diplomatik ke Augsburg, Swabian German pada 1604, saat itulah ia mengucapkan perkataan legendaris yakni “An ambassador is an honest gentleman sent to lie abroad for the good of his country” (Seorang duta besar adalah sosok pria jujur yang dikirim untuk berbohong di luar negeri demi kebaikan negaranya).
Kisah Wotton sempat juga dituliskan di sebaris kalimat oleh seorang wartawan Belanda dan pernah berdinas sebagai diplomat. Sejak abad ke-16, diplomat Inggris Henry Wotton telah mengingatkan bahwa diplomat dikirim keluar negeri untuk berbohong demi negaranya. (Willem Oltmans, Bung Karno Sahabatku, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001 dan e-book DBNL, Digitale Bibliotheek voor de Nederlandse Letteren, 2015: 82). Di abad XVI apa yang dikatakan Wotton jauh berbeda ketika seorang presiden berbicara di COP26, Glasgow, Senin (01/11).
Bila selama ini presiden bicara bengah di dalam negeri, maka juru bibir istana akan langsung memberikan respons untuk memberikan pembenaran. Bahkan pelakunya kemudian menjadi duta besar. Kakak Pembinasa akan memerintahkan Adik-Adik Terbinasa berupa buzzer untuk menyerang para pengeritik. Kominfo yang aktif membuka selubung disinformasi dan hoaks, pasti akan diam bagai bebek yang tercekik bila ucapan karut berasal dari ‘Orang Nomor Satu’ dan ‘Ribuan Nomor Orang-Orang’ di bawahnya. Lalat-lalat buzzer hingga juru bibir akhirnya menemukan lawan yang tak bisa ditembak dengan cercaan, caci maki, dan hinaan.
Deutsche Welle (DW) memberitakan di bagian awal beritanya yakni Greenpeace menyebut pidato Presiden Joko Widodo di COP26 hanyalah omong kosong. Berita yang diambil dari DetikTravel tersebut, juga dimuat di CNNIndonesia dengan kutipan lengkap. “Klaim Presiden Jokowi dalam pidato COP26 bisa dikatakan omong kosong,” kata Iqbal Damanik, Forest Campaigner Greenpeace Asia Tenggara dalam jumpa pers virtual pada Selasa (2/11). NGO Transnasional itu tak bisa dibuat berkutik oleh pola lama yang dilakukan Sang Kakak Pembinasa beserta cecunguk buzzer pemangsa remah-remah dan penjilat sisa-sisa daging belulang.
Penulis Amerika, Darrel Huff (1913 – 2001) beserta ilustrator Irving Geis (1908 – 1997) telah membuka mata kita tentang bagaimana berbohong dengan angka-angka. Memberi informasi salah dengan menggunakan bahan-bahan statistik, bisa dikatakan memanipulasi statistik, yang disebut Statistikulasi (Darrel Huff dan Irving Geis, How to Lie With Statistik, W. W. Norton & Company, 1954:100). Apakah nanti akan ada istilah untuk omong kosong di Glasgow dengan sebutan ****wilation atau ****wilasi, mungkin juga Presidentulation atau Presidenulasi? Berat sekali istilah-istilah baru ini, hingga seabad kemudian masuk dalam Kamus Bahasa Inggris dan KBBI. Apapun itu, angka-angka kebohongan makin besar diucapkan, maka tatarannya makin tinggi. Meski tak harus selalu bertengger di level empat.