menitindonesia, MAKASSAR – Santer menjadi perbincangan promosi doktor bidang ilmu hukum terhadap dosen muda Universitas Muslim Indonesia (UMI) Dr Imran Eka Saputra, SH, MH, di Universitas Hasanuddin, yang menjadi perbincangan warga net di sejumlah group WhatsApp di Makassar, termasuk Group WA Alumni Unhas, Senin (21/11/2022).
Gelar Doktor Ilmu Hukum yang diraih Imran Eksa Saputra di Unhas itu, juga mendapat apresiasi aktivis Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD) era 98, Syamsir Anchi. Dia mengatakan, sebelum meraih gelar doktornya, Imran Eka Saputra menerbitkan bukunya “Mengawasi KPK” yang, kata dia, buku tersebut sangat bermanfaat bagi negeri ini.
“Banyak yang melakukan promosi doktor, tapi hanya mengejar gelar, bukan ilmunya. Bedanya dengan Imran Eka, dia anak muda yang mengejar ilmu, dan menawarkan solusi , menginspirasi bagaimana membangun komisi anti korupsi yang terpercaya melalui karya bukunya ‘Mengawasi KPK’. Ini sangat keren,” kata Syamsir Anchi saat ditemui usai membuat konten di Kampus Unhas, Tamalanrea, Senin (21/11/2022).
Syamsir mengaku, banyak notifikasi masuk ke wall smart phone miliknya yang memberikan ucapan selamat atas promosi doktor kepada Imran Eka Saputra. Antusiasme warga Makassar yang turut berbahagia atas gelar doktor yang diraih Imran Eka, ujar dia, mengalahkan antusiasme warga saat ada pejabat publik tampil di podium promosi doktor.
Selain itu, kata Anchi, usia Imran Eka Saputra relatif masih muda dan sudah berhak menyandang gelar doktor. Bukan soal gelar doktor dan usia mudanya yang menarik, ujar dia, namun karya yang dibuat Imran Eka Saputra, buku yang sempat direferensi menjadi bacaan para aktivis.
Anchi mengaku, salah seorang sahabatnya di Jakarta, aktivis anti korupsi, Hery, menyarankan agar aktivis Makassar membaca buku “Mengawasi KPK” karya Imran Eka Saputra, terutama jadi bacaan wajib para aktivis anti korupsi.
Kritik Anchi ke Unhas
Direktur Eksekutif Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI) itu, juga menyentil sejumlah guru besar dan doktor di Unhas yang minim menulis buku. Kalaupun ada, kata dia, buku itu hanya mengumbar ilmu ‘menjilat’ dan hanya bercerita tentang dirinya, bukan tentang gagasannya.
“Di Unhas ini yang punya karya buku sekarang dihitung jari, paling Prof Ilmar di Hukum, Dr Hasrullah di Fisip. Yang lain kopi pastenya banyak, ndak original gagasannya,” ujarnya.
Dia pun membandingkan Unhas dulu yang memiliki ikon guru besar seperti Prof Mattulada, Prof A Muis, Prof Abu Hamid, Prof Ahmad Ali dan Prof Burhamzah, dengan yang sekarang. Menurut Anchi, sekarang Unhas tak lagi punya ikon profesor menjadi simbol intelektual.
Syamsir Anchi pun memprediksi, dengan kondisi Unhas saat ini, di masa akan datang, Unhas yang kini perguruan tinggi terkemuka akan menjadi perguruan tinggi terkebelakang.
“Kalau seperti kondisinya saat ini, Unhas akan berada jauh di bawah level UMI dan Unibos nanti,” ucap alumni Fakultas Sastra Unhas angkatan 1993 ini.
Terkait keprihatinannya itu, Syamsir Anchi menuturkan, bagaimana ia tidak prihatin, kalau tim sukses politik, ungkap dia, sudah menyusup ke dalam birokrasi kampus dan memegang jabatan-jabatan strategis di Unhas.
“Tanda-tanda Unhas mengecil sudah nampak, di mana bekas tim-tim sukses dan caleg gagal bisa masuk ke Unhas dan memegang sejumlah jabatan strategis,” katanya. (roma)