menitindonesia, MAKASSAR – Upaya yang dilakukan Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko untuk mengambil alih Partai Demokrat melalui PK ke Mahkamah Agung, mendapat kecaman dari Aktivis 98 Makassar, Syamsir Anci.
Alumni Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin angkatan 93 itu, meminta semua anak bangsa, khususnya generasi muda di negeri ini, agar tidak ada yang mencontoh watak KSP Moeldoko yang tidak kesatria.
Menurut dia, perbuatan KSP Moeldoko yang berupaya mengambil alih Partai Demokrat dari tangan AHY–yang diakui negara melalui Kemenkumham sebagai Ketua Umum yang sah–merupakan tindakan yang tidak punya rasa malu.
Kalau mau pimpin Partai, kata Anchi, Moledoko mestinya mendirikan partai seperti yang dilakukan Letnan Jenderal Prabowo mendirikan Gerindra, Jenderal Wiranto mendirikan Hanura, Jenderal Eddy Sudrajat mendirikan PKPI dan Jenderal SBY mendirikan Partai Demokrat.
“Bukan melakukan perbuatan politik tercela, berusaha mengambil alih partai yang tidak ada sedikitpun tetes keringatnya di situ. Ini merusak wataknya sendiri. Dia kan prajurit TNI dan seorang jenderal. Kan kasihan melihat seorang mantan panglima jadi publik enemy, apa dia tak punya rasa malu,” kata Syamsir Anchi dalam keterangannya, Jumat (7/4/2023).
Dia juga mengingatkan KSP Moeldoko, bahwa usia dia kini sudah melebihi angka 60 tahun, sehingga patutnya, ujar Anchi, sebagai tokoh tentara, KSP Moeldoko memberi contoh yang baik kepada bangsa ini bukan mempertontonkan watak buruk.
“Tak pantas dia mempertontonkan prilaku yang jauh dari watak seorang prajurit yang berjiwa kesatria dan patriot. Apalagi dia pernah KASAD dan Panglima TNI. Janganlah berpolitik tanpa rasa malu, itu ngeri, memalukan karena tak punya standar etik,” ujarnya.
Selain itu, Syamsir Anchi juga mengingatkan kepada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) agar tidak mudah panik. Dia meminta AHY tetap memercayai independensi Mahkamah Agung.
“Tanpa diminta sekalipun, rakyat akan membela demokrasi yang mau dicabik-cabik, termasuk akan membela Demokrat dan Pak SBY jika dizolimi secara vulgar begitu” katanya.
Anchi juga mengingatkan peristiwa yang pernah terjadi antara Soeryadi dan Megawati Soekarnoputri pada masa Orde Baru. Saat itu, Soeryadi ujug-ujug melakukan kudeta terhadap Mega karena sikap Mega terlalu kritis kepada Orde Baru.
“Ya, kami turun ke jalan membela PDI Pro Mega meskipun kami tak suka orang-orang di sekitar Mega yang suka mabok-mabokan. Tapi kami turun ke jalan, demo bersama mereka, bahkan teman-teman kami ke Jakarta dan terlibat kasus 27 Juli 1996,” ujar Anchi.
Dia juga mengatakan, bahwa hakim MA, menurutnya, tidak mungkin mengabulkan permohonan KSP Moeldoko dan dokter Hewan Jhonni Alen Marbun, karena 16 etape proses hukum yang sudah dilalui, semua dimenangkan pihak Menkumham dan AHY.
Direktur Eksekutif LSM Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI) itu menyebut Partai Demokrat tak bisa dipisahkan dari figur SBY yang mencetuskan dan membesarkan partai berlogo mercy itu.
“Hewan pun tahu kalau Demokrat di Indonesia ini, dicetuskan oleh SBY dan dibesarkan oleh SBY. Jadi kalau ada yang berpikir Demokrat tak ada hubungan dengan SBY, maka pikirannya lebih rendah dari hewan,” ucap Anchi.
Dikutip dari pernyataan KSP Moeldoko saat ditemui wartawan di Gedung Krida Bakti, Jakarta Pusat, Senin 3 April 2023, lalu, terkait novum atau bukti baru yang diajukan dalam Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas perkara kasus Kongres Luar Biasa Partai Demokrat.
“Ora ngerti aku, ora ngerti (tidak tahu saya, tidak tahu),” ujar Moeldoko.
Bahkan, saat ditanya soal isu empat bukti baru yang digunakan Moeldoko dan dokter Hewan Jhonni Allen sebagai dasar pengajuan PK, menyebut hal itu bukan urusannya.
Terkait seruan AHY dan kader demokrat yang akan melawan dirinya, Moeldoko mengatakan itu terserah kepada mereka. “Terserah aja,” katanya. (andi endeng)