Cak Imin, HMI, dan Luka yang Masih Menganga: Saat Saudara Pergerakan Saling Menyindir

Jurnalis Akbar Endra, aktivis HMI era 90-an yang menjadi saksi kiprah gerakan mahasiswa Islam membela rakyat tergusur, buruh, dan kaum marjinal. Kini menulis opini soal polemik Cak Imin dan sejarah HMI.
Oleh: Akbar Endra
(Jurnalis dan kader HMI)
menitindonesia, OPINI – ADA luka lama yang tiba-tiba menganga kembali. Bukan karena peluru atau pengkhianatan, tapi karena kata-kata. Ketika Cak Imin—tokoh politik senior, eks aktivis dan mantan Ketua Umum PMII, dan kini Menko PMK—melontarkan pernyataan soal siapa organisasi mahasiswa Islam yang “tumbuh dari bawah” dan siapa yang “tidak”, publik pun riuh.
Pernyataan itu tampaknya biasa saja, sampai menyebut nama: HMI. “Kalau ada yang tidak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII, pasti itu HMI.”
BACA JUGA:
HMI Dituding Tak Tumbuh dari Bawah, Arief Rosyid Sentil Cak Imin: Pernyataan Menyesatkan
Seketika, suara-suara dari lorong sejarah bangkit. HMI, organisasi mahasiswa Islam tertua yang berdiri sejak 1947, bukan hanya sebuah nama. Ia adalah rumah bagi ribuan aktivis yang pernah memikul idealisme di tengah arus pragmatisme. Ia adalah ruang pertama banyak tokoh bangsa belajar berpikir, berjuang, dan menyusun nalar kritis di tengah kekuasaan yang sering menindas.
Lalu kini, dilabeli sebagai organisasi yang “tak tumbuh dari bawah”? Tentu banyak yang terusik.

Ketika Kata Menjadi Luka, dan Sejarah Tak Bisa Dibungkam

Salah satu yang pertama bersuara adalah Arief Rosyid, mantan Ketua Umum PB HMI. Dan dia tak asal bicara. Ia pernah memimpin jutaan kader, mengorganisasi gerakan, dan memahami denyut ideologis HMI dari Sabang hingga Merauke.
“HMI bukan lahir dari istana, tapi dari keresahan rakyat. Dari masjid-masjid kecil dan kampus-kampus negeri yang gersang, tapi penuh semangat,” tegas Arief.
BACA JUGA:
Taruna Ikrar Serahkan 41 Izin Edar BPOM, UMKM NTT Bangkit dari Timur untuk Indonesia
Ia menyebut pernyataan Cak Imin sebagai bentuk pengaburan sejarah. Bahkan lebih jauh, sebagai upaya membenturkan organisasi yang seharusnya saling menguatkan.
“Kalau pun disampaikan di forum internal, ia tetap seorang pejabat negara. Kata-katanya didengar publik. Maka bersikaplah bijak,” tambahnya.
Yang terjadi ini bukan semata perbedaan cara pandang. Ini tentang bagaimana kekuasaan kerap merasa berhak memonopoli sejarah. Bahwa siapa pun yang tak berada di barisan kekuasaan, dianggap tak relevan atau layak dicemooh.

HMI Dulu dan Kini

Saya saksi hidupnya. Di era 1990-an, ketika HMI Cabang Ujung Pandang (sekarang Makassar) dipimpin oleh dr. Med. Taruna Ikrar, saya berada di tengah-tengahnya. Saya melihat sendiri bagaimana HMI memfasilitasi para demonstran melakukan metamorfosis: dari kemarahan jalanan menjadi advokasi yang terstruktur.
Saya menyaksikan HMI hadir membela buruh yang dipecat sepihak, bersolidaritas untuk warga tergusur, menyuarakan aspirasi kaum marjinal yang tak punya akses bicara. Kami hidup di sekretariat yang seadanya, dengan kas organisasi yang nyaris nol, tapi idealisme yang penuh.
BACA JUGA:
Gubernur Sulsel Terima Dubes Jepang, Bahas Pendidikan dan Ketenagakerjaan
Dan tidak pernah, sedetik pun, saya merasakan bahwa HMI itu elitis. Nilai inti HMI dari dulu hingga kini tak pernah berubah. Ia mengkader mahasiswa Islam untuk lebih mengenal siapa dirinya, siapa Tuhannya, dan akan ke mana kelak. HMI tidak mendidik kadernya untuk mengejar kekuasaan, tetapi menyiapkan generasi yang memiliki kualitas intelektual, kecerdasan emosional, dan kekuatan spiritual.
Maka ketika ada yang mencoba memframing HMI sebagai produk elit, itu bukan saja pengaburan fakta, tapi mengkhianati sejarah pergerakan. Dan sejarah, pada akhirnya, akan selalu menemukan jalannya sendiri untuk membela kebenaran.
Biarlah kekuasaan silih berganti. Tapi nilai-nilai yang diwariskan HMI akan terus hidup dalam pikiran dan perjuangan anak-anak bangsa yang tidak pernah lupa dari mana mereka datang.
Hari ini, di tengah kemiskinan struktural, korupsi moral, dan polarisasi pasca pemilu, bangsa ini butuh narasi kolaborasi, bukan perpecahan. Baik HMI, PMII, GMNI, KAMMI, PMKRI—semua pernah dan sedang berjuang. Menyebut satu lebih “asli” dari yang lain, hanyalah membuka luka yang sebenarnya sudah coba disembuhkan oleh generasi baru.
 Cak Imin boleh punya tafsir, tapi sejarah tak bisa dimonopoli. Apalagi hanya untuk menegaskan loyalitas politik.