Taruna Ikrar: Regulasi Progresif Jadi Pondasi Pengobatan Mandiri di Indonesia

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Prof. Taruna Ikrar, saat menyampaikan keynote speech pada Asia-Pacific Self-Medication Industry (APSMI) Meeting and Seminar di Merusaka Hotel, Nusa Dua, Bali, Kamis (9/10/2025).
  • Kepala BPOM RI Prof Taruna Ikrar menegaskan pentingnya literasi kesehatan dan regulasi yang transparan dalam mendorong pengobatan mandiri (self-medication) yang aman dan bertanggung jawab di Indonesia.
menitindonesia, BALI — Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Prof. dr. Taruna Ikrar, M.Biomed, Ph.D., menjadi keynote speaker dalam acara Asia-Pacific Self-Medication Industry (APSMI) Meeting and Seminar yang digelar di Merusaka Hotel, Nusa Dua, Bali, Kamis (9/10/2025).
BACA JUGA:
BREAKING NEWS: BPOM Diakui Dunia, Taruna Ikrar Pimpin Sertifikasi Ekspor ke AS
Dalam forum bergengsi ini, Prof Taruna menyampaikan gagasan strategis bertema: “Strengthening National Health Literacy and Resilience in Self-Care Through Innovative and Transparent Drug Control.”
Dalam sambutannya, Prof Taruna menekankan bahwa pengobatan mandiri (self-medication) kini menjadi pilar penting ketahanan kesehatan nasional, terutama di tengah meningkatnya kasus penyakit tidak menular (NCDs) dan tantangan sistem kesehatan global.
“Self-care adalah bentuk kemandirian masyarakat dalam menjaga kesehatan. Namun tanpa literasi yang kuat, masyarakat bisa terjebak pada praktik tidak aman dan penggunaan obat yang tidak rasional,” ujar Prof Taruna.
Beliau juga mengingatkan bahwa kemudahan membeli obat secara daring membawa dua sisi mata uang: memperluas akses, tetapi juga meningkatkan risiko penyalahgunaan jika tanpa pengawasan yang memadai.

80 Persen Warga Indonesia Melakukan Pengobatan Mandiri

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip Prof Taruna, tren pengobatan mandiri meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2019 tercatat 71,46% masyarakat melakukan pengobatan mandiri, meningkat menjadi 84,34% pada tahun 2022, dan masih tinggi di kisaran 80% pada 2023.
Data ini, kata Prof Taruna, menjadi alarm penting bagi pemerintah untuk memperkuat edukasi publik dan pengawasan terhadap produk obat yang beredar.
BACA JUGA:
Beda Dari Pria, Salat di Rumah Lebih Utama Bagi Perempuan. Begini Penjelasannya!
“Angka ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah sangat mandiri, tetapi kemandirian itu harus diimbangi dengan tanggung jawab dan literasi yang baik,” tegasnya.

BPOM Bukan Penghambat Inovasi

Prof Taruna menggarisbawahi komitmen BPOM RI dalam menciptakan lingkungan regulasi yang progresif — yang tidak hanya mengatur, tetapi juga mendorong inovasi industri kesehatan dan farmasi.
“Regulasi bukan hambatan, melainkan instrumen untuk menyeimbangkan antara perlindungan masyarakat dan kemajuan industri,” ujar Kepala BPOM itu di hadapan peserta forum dari berbagai negara Asia-Pasifik.
Untuk menjalan tugas pokok dan fungsinya, strategi yang ditempuh BPOM antara lain: Pelatihan masyarakat berbasis komunitas untuk edukasi pengobatan mandiri yang bertanggung jawab, Peningkatan regulasi dengan pedoman yang jelas bagi produk self-medication, dan Fasilitasi ekosistem inovasi melalui dukungan terhadap riset dan pengembangan teknologi kesehatan.
IMG 20251009 WA0057 11zon
Infografis: Taruna Ikrar Dorong Wujudkan Self-Care Berkelanjutan

Sinergi ABG: Kunci Ketahanan Kesehatan Nasional

Dalam konteks lebih luas, Prof Taruna menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, bisnis, dan pemerintah (ABG) untuk memperkuat ketahanan sistem kesehatan Indonesia.
Beliau menegaskan bahwa landasan hukum nasional kini telah semakin kuat, antara lain melalui: Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024, dan Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2025 tentang Standar Good Distribution Practice (GDP).
Melalui regulasi tersebut, BPOM mendorong sistem distribusi berbasis risiko (risk-based distribution), memperluas akses obat melalui fasilitas non-apotek seperti supermarket dan minimarket, serta memperkuat transparansi digital dengan barcode 2D, e-label, dan sistem track-and-trace.
Kampanye Cek KLIK (Kemasan, Label, Izin Edar, Kedaluwarsa) juga terus digencarkan sebagai bagian dari literasi publik dan tanggung jawab profesional apoteker.
Prof Taruna menegaskan bahwa pengobatan mandiri tidak bisa dijalankan oleh satu pihak saja. Dibutuhkan pendekatan lintas sektor — regulator, akademisi, industri, media, dan masyarakat — untuk mewujudkan sistem kesehatan yang aman, inovatif, dan berkelanjutan.
“Melalui regulasi progresif, literasi kesehatan, dan kolaborasi lintas sektor, kita bisa membangun bangsa yang lebih sehat, tangguh, dan berdaya,” tutup Prof Taruna Ikrar. (AE)