Oleh Akbar Endra
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Semua yang bernyawa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).
KABAR meninggalnya mantan Direktur Utama PT SCI (Perseroda) Sulsel, Ir HM Taufik Fachruddin, dua kali datang hari ini. Pesan duka itu masuk di lini masa sosial media: group-group WhatsApp dan direct messenger Instagram.
Pesan duka, pertama pagi tadi jam 09.25. Saya dibangunkan oleh kabar duka. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, Taufik Fachruddin meninggal dunia!” kata anak saya sambil memperlihatkan berita duka yang dimuat salah satu media online.
Saya termenung, lalu ke kamar mandi, wudhu dan berniat shalat dhuha dua rakaat, dan mendoakan agar Almarhum Damai di sisi Allah.
Setelah shalat saya menyalakan handphone dan berselancar ke lini masa sosial media dan WhatsApp Group. Kabar duka itu diralat kembali. Berita meninggalnya Taufik Fachruddin (TF) ternyata keliru.
Saya menghubungi salah seorang kerabat TF dan mendapat informasi yang akurat. Pagi tadi TF sempat mengalami krisis. Denyut nadinya lemah. Namun Taufik melewati masa krisis itu, dan kondisinya kembali membaik.
Doa duka cita seketika berubah menjadi doa kesembuhan. TF adalah orang yang baik. Saya pertama kali mengenalnya ketika beliau menjadi pengurus DPD Partai Demokrat Provinsi Sulawesi Selatan, tahun 2011. Saat itu, Partai Demokrat Sulsel dipimpin Ilham Arief Sirajuddin.
Dia diangkat sebagai Koordinator Wilayah Maros, Pangkep, Barru dan Pare-Pare. Saya ditunjuk sebagai Sekretaris Korwil. Saat kami bertemu dan berkenalan, meskipun saya sudah lama mengenalnya, dia menyapa saya dan mengatakan, dia pun sudah lama mengenal nama saya dan tahu rekam jejak saya sebagai aktivis 98 sebelum terpilih menjadi Anggota DPRD Maros Periode 2009-2014.
Kami pun deal untuk bicara berdua. Taufik mengajak saya bicara empat mata. “Kita samakan visi dinda, karena kita sama-sama memegang amanah dari Partai Demokrat sebagai korwil dan sebagai sekretaris korwil,” katanya.
“Kita harus bekerja sama, meski saya orang baru di demokrat, tapi saya akan bekerja maksimal untuk membesarkan partai ini,” lanjut TF, ketika itu.
Saat kami sedang berdua di salah satu kafe Jalan Pengayoman, dia menceritakan bagaimana pengalaman politik yang baru saja dilaluinya: bertarung di Pilkada Pangkep tahun 2010. Dia mengaku kalah strategi dari rivalnya, Syamsuddin Hamid. Meski kalah tipis, TF berbesar hati menerima. Dia bilang, dalam pertarungan, hanya ada dua hal yang akan terjadi: kalah atau menang!
TF ternyata, seorang politisi yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Dia memiliki prinsip: kompetisi dalam politik tidak boleh diakhiri dengan menciptkan musuh. Kalau kita sportif menerima kekalahan, maka kita mendapatkan kemenangan yang hakiki: yaitu jiwa besar.
“Jiwa besar itu, datang dari suara hati yang ikhlas. Kalau kita ikhlas, itulah pembuka pintu-pinta rahmat dan menjauhkan kita dari frustrasi dan keputusasaan,” ujar TF. Dalam hati, saya mengagumi TF sebagai seorang politisi yang baik.
Satu hal lagi yang membuat saya kagum, dia sering menanyakan kabar keluarga. Dia senang mendengar kalau saya bercerita soal lika-liku kehidupan dan pengalaman saya, baik sebagai seorang suami, ayah maupun sebagai seorang politisi dan sekalgus sahabatnya.
Suatu ketika dia meminta saya bicara berdua lagi. “Dinda, ketemuki dulu, ada mau saya sharing, ini soal agenda politik. Aturki waktuta ketemu nah,” ujarnya.
Malam, saya ke Makassar bertemu TF di Pizza Ria, Jalan Boulevar, Panakukang. Berdua. Pada pertemuan itu, dia meminta saya bicara dengan Lutfi Hanafi, karena TF diminta oleh Ilham Arif Sirajuddin (IAS) untuk menggantikan Lutfi sebagai Ketua DPC Partai Demokrat Pangkep.
Dia mengatakan, sebenarnya dia sudah merasa nyaman dengan posisinya sebagai Korwil dan bisa bergerak membantu IAS. Namun, ada agenda IAS untuk Pilgub 2013 nanti, maka dia diminta kembali ke Pangkep memimpin Partai Demokrat. Bahkan TF mengajak saya bicara dengan IAS dan meminta izin untuk maju juga memimpin Partai Demokrat Maros.
Akhirnya, saya membuka kondisi saya sebenarnya. Saya jelaskan ke TF, bahwa mungkin saya tidak bisa diperjuangkan untuk menjadi ketua DPC karena saya bukan politisi yang mapan. Saya belum selesai dengan diri saya. Saat itu, saya masih tinggal di rumah kontrakan, dan saya bukan pengusaha yang memiliki uang untuk membesarkan partai.
TF tidak setuju jika menjadikan kemapanan ekonomi sebagai indikator mencari pemimpin. Tetapi dia menghargai keputusan saya, setelah saya beritahu, bahwa baru setahun saya terpilih menjadi Anggota DPRD dan Pak IAS tahu saya adalah politisi kere. “Saya harus sadar posisi!”
Singkat cerita, TF akhirnya terpilih secara aklamasi menggantikan Lutfi Hanafi sebagai Ketua DPC Partai Demokrat (PD) Kabupaten Pangkep pada Muscab PD Pangkep. Saya sempat menyampaikan pesan TF kepada Lutfi, bahwa TF tidak bermaksud melakukan kudeta terhadap kepengurusan Lutfi dan dia diutus menjadi ketua DPC juga bukan untuk menjadi caleg, baik di Kabupaten maupun di Provinsi. Saya diminta TF menggaransi bahwa dia tidak akan maju sebagai Caleg Kabupaten maupun Caleg Provinsi. Misinya hanya dua: menangkan IAS jadi Gubernur dan mengantar Demokrat Pangkep merebut pimpinan dewan.
Di sinilah saya memahami watak TF. Dia seorang politisi yang tidak mau khianat. Dia memegang janjinya. Pada Pileg 2014, TF tidak maju sebagai caleg. Dia tetap menyokong Demokrat dan memenangkan Ilham-Azis di Pangkep pada Pilgub 2013.
Saya juga digaransi oleh TF saat saya ditunjuk sebagai ketua Tim Pemenangan Ilham-Azis di Kabupaten Maros. Saat saya turun menjadi pengurus DPC, TF meminta agar saya mendampingi Amirullah Nur sebagai Sekretaris DPC PD Maros, namun Amir tidak memenuhi permintaannya karena dia ingin memasang saya sebagai Ketua I. Posisi yang sangat penting dalam kepengurusan, Demokrat ketika itu.
TF menyampaikan komposisi itu dan meminta saya membantu Amir membesarkan Partai Demokrat. Ada satu hal yang berkesan dalam benak saya, ketika TF mengatakan, “Dinda, siapapun ketua, kita harus loyal sebab kita loyal kepada partai. Politisi harus punya dedikasi, dan dedikasi itu adalah loyalitas,” ujarnya.
Bersahabat dengan TF, banyak pelajaran yang saya dapatkan. Dia bukan tipe orang silau dengan kemewahan dan materi. Meskipun saya tahu dia sudah selesai dengan urusan kemapanan. Dia selalu menunjukkan hal-hal yang sederhana. Dia tidak menunjukkan kemewahan, tapi dia selalu menunjukkan ketulusan.
Usai Pemilu Legislatif, TF mengundang saya ke kantor Perusda Sulsel. Saat bertemu dia menceritakan obsesinya membesarkan Perusda. Dia juga menanyakan aktifitas saya setelah kalah sebagai Caleg DPRD Provinsi Sulsel pada Pileg 2019. Saya pun berterima kasih karena telah dibantu untuk meraih suara di Pangkep.
Banyak kenangan bersamanya. Air mata saya mengalir saat mengingat kebersamaan dengannya. Apalagi, akhir-akhir ini, hampir setiap saat saya berkomunikasi dengan TF. Di masa jaya bersama kakak iparnya, Gubernur Sulsel non aktif, Prof Dr Ir HM Nurdin Abdullah, TF ibarat gula yang banyak didekati oleh semut.
Setiap bertemu, saya selalu meminta waktu sore di saat ruangannya sepi dari kunjungan tamu. Hingga suatu hari TF menemukan di mobil saya banyak tumpukan rak telur, dan dia baru tahu kalau saya sering mengantar telur ke pasar dan menjual telur ke pedagang-pedagang di pasar.
Dia menyemangati saya: “Petarung tidak pernah kehilangan cara untuk memperjuangkan hidup, semangat dinda!” Saya memberi hormat tanda setuju dengan pernyataannya.
Suatu hari, terjadi peristiwa OTT KPK, pada 26 Februari 2021. Orang pertama saya konfirmasi adalah TF. Yah, dia mengatakan sudah di Jakarta menyusul memantau perkembangan di KPK. Gubernur Sulsel Prof NA, dini hari tanggal 27 Februari 2021, ditetapkan sebagai tersangka.
TF meminta agar saya menunggu dia balik dari Jakarta dan bertemu untuk mendengarkan apa sesungguhnya yang terjadi. Setiap saat kami mengikuti perkembangan. Kami mendiskusikan kemugkinan-kemungkinan yang akan terjadi ke depan.
Pertama, Prof NA akan dihukum dengan hukuman minimal 4 tahun. Kedua, Prof NA akan dihukum ringan karena dia bukan pelaku utama. Dan, ketiga Prof NA akan bebas karena adanya fakta-fakta bahwa yang meminta uang kepada Agung Sucipto dan sekaligus menerima uang adalah Edy Rahmat.
Tanggal 11 Juli 2021 jam 17.20 Wita, TF mengirim pesan WhatsApp ke saya. Mengabarkan ke saya bahwa dia sedang menjalani Isman. “Lagi Ismanka (Isolasi Mandiri), kenaka Covid dinda,” tulisnya sambil melampirkan stcker anak kecil mengintip di sela tangannya.
Saya pun langsung mensupportnya untuk menguatkan imun dan menghindari stress. TF terus mencolek saya, mengingatkan beberapa pesan dan mengajak berdiskusi. Saya memberikan materi yang ringan dan lucu-lucuan saja, karena paham bahwa seorang yang kena Covid harus rileks, perasaan nyaman agar imunnya kuat.
Tanggal 15 Juli 2021, Jam 18.16 Wita, TF mengirimkan pesan ke saya melalui WhatsApp. “ALLAHU AKBAR. Masukka RS dinda!” sambil dilampiri sticker dua tangan seperti mengajukan maaf. Dia juga menyampaikan bahwa dirinya belum pernah divaksin.
Saya mensupportnya lagi dengan memberi semangat sekaligus mengingatkan agar selalu optimis untuk sembuh. Dia menjawab singkat: “Iye!”
Sepekan kemudian, kabar duka itu datang dua kali. Sahabat, kakak dan sekaligus guru saya telah dipanggil Allah SWT, Sabtu, 24 Juli 2021, jam 18.45. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Kakanda TF, mendahului kita. Sejak saya mengenalnya satu dasawarsa lebih dan menjadi sahabatnya, teman diskusinya, dan kadang menjadi teman ngopi, saya belum pernah melihat TF atau mendengar dia membenci orang lain sekalipun.
Meskipun dia kadang “ditusuk dari belakang”, dia tetap tulus dan sabar. Saat dia diganti mendadak sebagai Direktur PT SCI (Perseroda) Sulsel, dia hanya mengatakan: kita sabar saja, mudah-mudahan Perseroda dengan nahkoda baru bisa lebih maju lagi.
Ketika saya menanyakan kenapa mendadak penggantiannya, tidak ada pemberitahuan sebelumnya? Dengan tenang TF mengatakan, tidak perlu bersedih karena kita kehilangan jabatan. Yang harus kita sedih kalau kita kehilangan Allah di hati kita sehingga kita tidak bisa melaksanakan amanah dan berbuat adil. Kita tidak boleh terbelenggu oleh kekuasaan dan jabatan.
“Kekuasaan, jabatan bahkan hidup kita sendiri tidak ada yang kekal, semua ini fana. Yang kekal hanya Allah!” Kalimat ini seperti penanda baginya, bahwa dia akan menghadap ke Yang Maha Kekal.
Kita semua telah kehilangan Taufik Fachruddin, sahabat yang baik. Sulawesi Selatan kehilangan seorang yang baik dan selalu tulus berbuat. Taufik Fachruddin membuktikan ucapannya: segalanya adalah fana kecuali Dzat Allah yang kekal. Semoga Almarhum Damai di sisi Allah, Tuhan Yang Maha Kekal!
Maros, 24 Juli 2021