Resesi Ekonomi Ancam Negara Kita

Ketua FAKK, Ahmad Mabbarani. (Foto: Ist)

Oleh Ahmad Mabbarani*
menitindonesia – DANA moneter internasional atau IMF telah mengirimkan sinyal kuat akan terjadi krisis global 2023 nanti. Tanda itu makin kuat setelah IMF dan Bank Dunia menyerukan semua negara untuk menguatkan pondasi ekonominya, karena outlook pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,7 persen di tahun 2023.
Buruknya prospek ekonomi global dan lonjakan inflasi (harga-harga kebutuhan naik) serta rendahnya daya beli masyarakat semakin memperparah kondisi enonomi dunia.
Dari sinyal yang dikirimkan IMF itu, ada tiga sebab yang memicu terjadinya krisis ekonomi global ini. Pertama, faktor pandemi Covid-19 yang melanda semua negara, sehingga memaksa pemerintah menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat untuk menghindari wabah. Hal ini berdampak pada perekonomian, down.
Banyaknya usaha yang gulung tikar mengakibatkan pemutusah hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Jumlah pengangguran membengkak, kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonomi jatuh ke titik terendah. Baru mau bangkit dari krisis akibat pandemi Covid-19 itu, muncul lagi persoalan baru.
Kedua,  Invasi Rusia ke Ukraina, memperburuk kondisi global. Karena perang kedua negara ini pasti berdampak pada ekonomi global. Akibat adanya perang Rusia – Ukraina, negara-negara di Eropa mengalami krisis yang parah: harga-harga naik (tinggi), dan mata uang mereka melemah (jatuh).
Di Inggris, sudah mulai terjadi. Rakyatnya meradang menderita akibat krisis. Jatah makan untuk anak sekolah terpaksa dikurangi. Harga listrik di Inggris naik hingga 700 persen. Bahkan, jutaan orang Inggris rela mengurangi konsumsi makannya hanya untuk membayar rekening listrik.
Kalau mereka hidup tanpa listrik, aktifitas di rumah mereka akan lumpuh total. Mulai dari kompor hingga pemanas, semua pakai listrik. Jadi kalau listrik tidak dibayar, maka dalam satu rumah mereka bisa mati kedinginan.
Dengan naiknya harga listrik sementara pendapatan menurun, maka warga Inggris mengurangi item belanja mereka untuk menutupi kebutuhan listrik. Parahnya lagi, bencana kelaparan sudah mulai mengancam. Ini sangat mempengaruhi keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika warga banyak lapar, maka mereka gampang melakukan kerusuhan. Orang-orang lapar sulit untuk dikendalikan.
Tidak hanya di Inggris, juga di Italy sudah diambang krisis. Mata uang euro jatuh dan harga barang mengalami kenaikan. Akhirnya banyak perusahaan tutup karena tidak mampu membayar gaji pegawai dan beban operasional kantor mereka meningkat. Sekarang, di Italy sedang terjadi gelombang PHK secara besar-besaran.
Perang Rusia – Ukraina ini, tidak hanya mengakibatkan krisis energi di Eropa, tapi sangat berpotensi berkembang dan menjalar ke seluruh dunia mengakibatkan krisis ekonomi global.
Kita tahu, Ukraina adalah lumbung pangan Eropa. Ketika Ukraina sedang berperang melawan Rusia, pasti produksi petani gandum di sana akan menurun. Maka sesuai ‘sunnatullah ekonomi’ pasar: ketika suplai kurang sedangkan permintaan tinggi, maka sudah pasti akan terjadi kenaikan harga.
Eropa tak hanya ketergantungan kebutuhan pangan impor dari Ukraina. Hampir semua negara di Eropa, juga tergantung kebutuhan gas mereka dari Rusia–yang selama ini menjadi tulang punggung gas Eropa. 40 persen pasokan gas Eropa, diimpor dari Rusia.
Nah. Kalau pasokan gas Rusia ditutup ke Eropa, sudah pasti berdampak. Kebutuhan gas masyarakat Eropa yang semula dipenuhi oleh gas dari Rusia, akhirnya akan beralih dan bertumpu hanya pada listrik saja. Pemakaian listrik langsung melonjak, demikian pula dengan harganya, naik berkali-kali lipat.
Inilah yang membuat Inggris, Italy, dan Jerman kelabakan. Sedangkan Rusia, malah justru mendapat keuntungan lebih, karena bisa menjual gasnya ke China dan India, yang jauh lebih banyak jumlah penduduknya, meskipun Eropa disatukan.

Krisis di Eropa ini sudah mulai berpengaruh hingga ke negara kita. Di saat masyarakat banyak yang jatuh miskin akibat krisis ekonomi saat pandemi Covid-19, dengan pongah pemerintah menaikkan harga BBM yang disusul naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Sektor pertahanan ekonomi negara kita ini hanya satu: sektor pertanian.

Beruntung juga, kita menjadi negara agraris, memiliki basis pertanian yang kuat. Ketika terjadi krisis pangan dunia, justru kita bisa menjadi negara penolong, menyuplai beras kepada negara-negara krisis. Tentu dengan menjual beras dan mengajak mereka beralih dari makan gandum ke nasi.
Agar selamat, ibaratnya, negeri ini adalah pesawat terbang, harus merekrut pilot yang mahir menerbangkan pesawat dan bisa melakukan komunikasi internasional. Seorang pilot wajib menguasai bahasa asing, minimal fasih berbahasa Inggris. Kalau pilotnya tak bisa berbahasa Inggris, itu namanya pilot sembrono.
Ketiga, ancaman krisis global, bencana iklim di semua benua. Kita ketahui, frekuensi terjadinya bencana iklim, kini dalam tingkat yang mencemaskan. Bila penyebabnya tak diatasi, bisa menjadi malapetaka bagi kehidupan di bumi.
Dari data statistik bencana alam, sungguh tak terbayangkan, setiap detik ada satu orang kehilangan tempat tinggal. Bila dibandingkan, jumlah orang yang kehilangan tempat tinggal karena bencana alam 3-10 kali lebih besar ketimbang akibat perang dan konflik.
Setiap tahun, sejak 2016, rata-rata 26 juta orang menjadi tunawisma. Angka ini setara dengan satu orang harus mengungsi setiap detik. Pada 2018 lebih dari 17,2 juta orang terlunta-lunta karena bencana alam di 125 negara dan wilayah.
Perubahan iklim telah diakui sebagai penyebab meningkatnya frekuensi kekeringan, kebakaran hutan, hurikan, dan lain-lain–semua bencana alam yang setiap kali terjadi selalu menimbulkan korban harta dan tak jarang juga jiwa.
Dari tiga penyebab terjadinya krisis global itu, harus menjadi perhatian untuk menguatkan pondasi ekonomi negara kita. Sudah sejauh mana ketangguhan ekonomi negara kita ini. Apakah negeri ini akan tangguh apabila hampir semua kebutuhan pokok masyarakat itu berasal dari impor?
Jika kita masih membiasakan mengimpor kebutuhan masyarakat, maka sesungguhnya kita adalah negara yang rapuh. Wallahu a’lam bisshawab.

*) Katua Forum Anti KongKalikong (FAKK)