Puber Politik dan Demokrasi Kita

Ilustrasi Foto: Penulis (Akbar Endra)
Oleh Akbar Endra
(Jurnalis)
menitindonesia – ARTI dan makna politik harus kembali dipahami secara linear. Apalagi memasuki tahun politik: Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024, mendatang. Panggung politik mulai dihiasi dengan narasi-narasi politik para politikus–yang jika dicermati–jauh dari kerangka teori politik yang sesungguhnya.
Politik sebagai proses pembentukan kekuasaan dalam masyarakat, bergeser dari arti dan maknanya. Plato dalam filsafat politiknya menguraikan eksistensi manusia dalam tiga bagian: pikiran atau akal, semangat atau keberanian dan keinginan berkuasa. Bagi Plato, idealisme menjadi faktor yang sangat penting, bahwa budi pekerti menentukan tujuan dan nilai kehidupan etik. Pikiran Plato terkait politik ini, disempurnakan oleh filsuf Aristoteles.
BACA JUGA:
Dirjen Otda: Pj Kepala Daerah Wajib Netral
Bagi Aristoteles, politik harus dilaksanakan untuk mewujudkan keinginan warga negara yang merupakan kebaikan bersama. Aristoteles berpendapat, sumbu kekuasaan dalam suatu negara adalah hukum. Oleh karena itu, para penguasa harus memiliki keinginan baik untuk semua warga negara: menegakkan hukum demi keadilan dan demokrasi, bukan demi kekuasaan politik semata.

Demokrasi di Indonesia

Terasa anomali dengan politik dan sistim demokrasi–yang sebenarnya sudah sangat liberal–di negeri kita. Generasi sekarang seakan-akan melihat politik itu sangat menyeramkan. Padahal politik itu sesuatu yang mulia. Yang membuat seram, karena yang cepat viral ke publik adalah kelakuan buruk politisi.
Sistim demokrasi yang dipraktekkan, lebih banyak menonjolkan kemampuan bertengkar di setiap beda pendapat. Pendidikan politik dan kesadaran politik masih sangat rendah. Meskipun kita menyadari, bangunan demokrasi yang kokoh di negara berkembang, haruslah dibangun dengan kesadaran politik yang tinggi. Pemahaman warga terhadap proses politik sangat membantu menguatkan demokrasi.
BACA JUGA:
Pj Gubernur Bahtiar Tindak Tegas Pelaku Spekulan, Kejati Sulsel Mengawal
Harus diingat, bahwa di Indonesia memiliki tantangan unik dalam mengembangkan sistim demokrasi. Dimulai dari demokrasi terpimpin yang menghasilkan presiden seumur hidup dan bablas, demokrasi pancasila yang menghasilkan sistim kepemimpinan yang korup hingga demokrasi liberal yang mengaburkan tujuan berbangsa. Meskipun dengan demokrasi seperti ini, kita masih bekerja keras untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada. Demokrasi kita, masih dihadapkan pada tantangan yang unik dan dinamika politik yang ribet. Politik dikelolah atas dasar sumber daya uang. Elektoral dibangun secara populis dan materialistik.
Dalam hal demokrasi, Indonesia sebenarnya sudah mengadopsi sistim demokrasi dengan baik sejak era reformasi dimulai tahun 1998. Sementara, di sejumlah negara berkembang, masih menghadapi berbagai tantangan untuk mewujudkannya.
Meskipun kita sudah mengadopsi sistim demokrasi dengan baik, namun kestabilan politik belum tercipta karena kebiasaan bertengkar para politikus tak kunjung reda. Juga pertengkaran elite politik semakin mendapat ruang pertarungan yang bebas di ruang-ruang publik. Narasi politik dan kebiasaan berbohong politisi, tanpa rasa malu terus menerus diunggah ke media sosial untuk meyakinkan publik, bahwa kebohongan sekalipun, jika terus menerus disuarakan akan menjadi kebenaran yang diyakini oleh rakyat. Akhirnya, demokrasi–sementara ini–hanya menghasilkan bajingan elite yang menguasai panggung politik.

Jadilah Pemilih Cerdas

Ketidakstabilan politik yang dialami: yang kaya makin berkuasa, yang miskin makin tersingkir, ini terjadi dalam perubahan pemerintahan dari hasil Pemilu yang demokratis. Sikap pragmatis dan masa bodoh masyarakat, menyuburkan cengkeraman oligarki ekonomi menguasai sektor politik, yang saat ini, menghasilkan kebijakan dalam proses berbangsa dan bernegara. Kedaulatan yang dihasilkan dari demokrasi yang kita praktekkan sekarang adalah kedaulatan pemilik modal.
BACA JUGA:
IGA Kemendagri 2023, Danny Pomanto Presentasikan Pakinta dan Jampangi dari Korea
Wong cilik alias rakyat, hanyalah menjadi komoditas untuk ditawarkan kepada pemilik modal dalam bentuk angka-angka survei elektoral. Suara wong cilik yang direkam lewat lembaga-lembaga riset, menghasilkan logistik dan amunisi politik untuk mengutus para ‘badut’ duduk sebagai wakil-wakil yang berbicara demi kepentingan pemilik modal. Mereka juga diberi tugasi membuat regulasi yang menyingkirkan para wong cilik demi kepentingan pemilik modal.
Undang-Undang Cipta Kerja (omnibus law) hingga persoalan tanah di Pulau Rempang, menunjukkan betapa wong cilik–yang jumlahnya massif–itu tidak memiliki daya politik untuk menggapai cita-cita kontitusi negeri ini: mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, bukan masyarakat yang tersingkir di atas tanah leluhurnya sendiri.
Sungguh. Pergeseran nilai di dalam pemerintahan ini mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan dalam bernegara. Ini disebabkan oleh adanya ketegangan politik, konflik atau korupsi.
Kita masih punya waktu untuk mengatasi ketidakstabilan berdemokrasi ini. Setiap momentum demokrasi: Pilpres dan Pileg, memberi kesempatan kepada seluruh anak bangsa untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan sebelumnya.
Rakyat harus menjadi pemilih cerdas. Tidak hanya sekedar memberikan suara dengan mencoblos caleg atau capres-cawapres, tetapi juga mempelajari rekam jejak mereka-mereka yang ingin mewakili suara rakyat di parlemen dan juga mengenali sosok calon pemimpin yang akan membawa negeri ini ke masa depan lima tahun akan datang. Salah pilih orang, akan beresiko pada nasib bangsa kita.
Saatnya kita mendorong masyarakat melakukan pemilihan dengan menerima informasi yang baik, mempertimbangkan calon dengan isu-isu yang relevan sebelum memberikan suara mereka pada Pilpres dan Pileg nanti. Ini merupakan prinsip-prinsip penting dalam demokrasi yang sehat. Masa pubersitas politik sudah harus diakhiri dengan menjadi pemilih yang lebih dewasa dalam pesta demokrasi. Wallahu’alam.