FOTO: Ketua Kelompok Fraksi NasDem Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo - memberi keterangan pers terkait permintaan DPR agar menolak uji materi UU Pemilu. (ist)
menitindonesia, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Rudianto Lallo mewakili DPR RI menyampaikan penapat hukum pada sidang UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1 tahun 2015 tentang Perppu No. 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.
“Dengan hormat, berdasarkan Pasal 175 ayat 1 dan 2 UU No. 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana beberapa kali diubah dengan UU No. 13/2019, pimpinan DPR menguasakan kepada Rudianto Lallo SH, MH dengan nomor anggota A422, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama DPR,” kata Rudianto Lallo.
Ketua Kelompok Fraksi NasDem Komisi III DPR RI itu, menjadi kuasa DPR dalam sidang uji materi dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah di Ruang Konstitusi Sekretariat Jenderal DPR RI, Jakarta, Selasa (10/12/2024).
Legislator asal Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan I (Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, dan Kepulauan Selayar) itu memaparkan sejumlah keterangan DPR dalam sidang uji materi yang diajukan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
“Sehubungan dengan surat dari Mahkamah Konstitusi kepada DPR untuk menghadiri dan menyampaikan keterangan dalam sidang MK atas permohonan uji materiil UU No. 7/2017 tentang Pemilu dan UU No. 8/2015 tentang Perubahan UU No. 1/2015 tentang Perppu No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Perludem,” ungkap Rudianto.
Ia menerangkan, DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) telah mendengarkan rekomendasi dan saran dari Perludem terkait sejumlah pertimbangan perbaikan sistem pemilu di Indonesia dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 30 Oktober 2024.
Pertimbangkan Pendapat Hakim Konstitusi
DPR juga mempertimbangkan pendapat hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih, yang menyatakan model keserentakan pemilu merupakan ranah pembentuk UU atau disebut open legal policy.
“DPR menghormati pendapat yang mulia hakim konstitusi Eny Nurbaningsih bahwa penentuan model keserentakkan pemilu merupakan ranah dari pembentuk UU atau dalam hal ini disebut open legal policy,” Rudianto.
Ia juga menjelaskan bahwa dalam substansi permohonan Perludem memerlukan kajian mendalam dan komprehensif terkait usulan perpanjangan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi serta kabupaten/kota agar meminimalisasi dampak negatif terhadap demokrasi.
“Atas pemohon untuk memperpanjang masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota hingga 2031 masih memerlukan kajian yang lebih mendalam. Perlu dicermati apakah hal tersebut berpotensi mengganggu dinamika demokrasi di tingkat daerah dan berpotensi menciptakan ketidakseimbangan siklus politik yang telah ditetapkan. Perlu juga dicermati potensi dampak negatif perpanjangan masa jabatan tersebut. Kepemimpinan yang tidak diperbarui dan sangat lama, sering kali menghadirkan risiko yang harus dipertimbangkan secara matang dan komprehensif,” jelas Rudianto.
Formulasi usulan Perludem yang memberikan jeda waktu pemilu nasional dan daerah selama dua tahun, menurutnya, semestinya memiliki dasar pijakan akademis dan mempertimbangkan kajian dari seluruh stakeholder kepemiluan.
“Formulasi jeda dua tahun antara pemilu nasional dan daerah, memerlukan kajian mendalam dan komprehensif dan simulasi terlebih dahului. Tanpa ada kajian komprehensif dan simulasi terlebih dahulu maka tidak dapat dilakukan segera. Waktu dua tahun perlu mendapatkan pertimbangan dari stakeholder pemilu antara lain penyelenggara pemilu, partai politik, serta peserta pemilu,” ujar dia.
Untuk itu, DPR meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terhadap UU Pemilu. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” tandas Rudianto. (*)