Ketika SBY Menyelamatkan Demokrasi: Kisah di Balik Pembatalan Pilkada Tak Langsung

FOTO: SBY bersama Barack Obama semasa mereka menjabat sebagai presiden. (ist)

menitindonesia, JAKARTA – Tahun 2014 adalah tahun yang penuh gejolak dalam lanskap politik Indonesia. Saat itu, di penghujung masa jabatan sebagai Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat keputusan penting: menerbitkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan pilkada tidak langsung yang baru saja disahkan DPR.
Pada 2 Oktober 2014, SBY menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2014. Perppu pertama membatalkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, yang mengatur agar kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sementara itu, Perppu kedua mengubah UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menghapus kewenangan DPRD untuk memilih kepala daerah.
BACA JUGA:
DPR Segera Bahas RUU Paket Politik, Usulan Pemilihan Gubernur oleh DPRD Mengemuka
SBY menyatakan bahwa langkah itu adalah bentuk komitmennya terhadap demokrasi. “Kedua Perppu tersebut saya tanda tangani sebagai bentuk nyata dari perjuangan saya bersama-sama dengan rakyat Indonesia, untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung,” ujar SBY dalam pidatonya, seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet.

Sebuah Drama Politik di Parlemen

Sebelumnya, DPR mengesahkan Undang-Undang Pilkada pada 26 September 2014 yang menghapus pilkada langsung. Kala itu, koalisi partai pendukung Prabowo Subianto mendukung mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Langkah ini memicu kontroversi dan perpecahan di tengah masyarakat. Banyak yang melihatnya sebagai langkah mundur dari semangat reformasi.
BACA JUGA:
Setara Institute Kritik Tajam Usulan Prabowo Soal Pilkada DPRD
Dalam rapat DPR yang berlangsung panas, Fraksi Partai Demokrat memilih untuk walkout, meninggalkan ruang sidang sebagai bentuk protes. Namun, enam anggota Demokrat memilih tetap tinggal untuk menolak RUU tersebut. Meski demikian, mayoritas suara akhirnya memenangkan pemilihan kepala daerah tidak langsung.
Keputusan DPR memicu gelombang kekecewaan dan kemarahan di berbagai lapisan masyarakat. “Wajar jika sebagian masyarakat Indonesia kecewa, bahkan marah, karena hak dasarnya untuk memilih pemimpin daerah dicabut,” ujar SBY. Ia menambahkan, “Saya sendiri pun merasakan kekecewaan yang sama.”

Mengembalikan Hak Rakyat

SBY memahami bahwa pemilihan kepala daerah langsung adalah buah dari perjuangan reformasi. Pemilihan langsung memungkinkan rakyat untuk menentukan pemimpinnya secara demokratis. Terlebih, SBY sendiri terpilih sebagai presiden melalui pemilu langsung pada 2004 dan 2009.
“Sebagai bentuk konsistensi dan ucapan terima kasih kepada seluruh rakyat Indonesia yang telah memberikan kepercayaan kepada saya selama dua periode ini, kiranya wajar jika saya tetap mendukung pilkada secara langsung,” ungkap SBY.
Dengan langkah ini, SBY tidak hanya mengembalikan hak suara rakyat, tetapi juga memastikan bahwa demokrasi tetap tegak. Keputusan itu menjadi warisan penting dari masa kepemimpinannya, menunjukkan bahwa dalam situasi genting sekalipun, ia tetap berpihak kepada rakyat.

Refleksi dan Pelajaran dari 2014

Keputusan SBY untuk menerbitkan Perppu tersebut mengingatkan kita bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang permanen. Ia bisa diuji, bahkan nyaris direnggut. Namun, selama masih ada pemimpin yang menjunjung prinsip demokrasi dan keberanian untuk bertindak, hak rakyat dapat diselamatkan.
Sepuluh tahun telah berlalu sejak peristiwa itu, tetapi semangat untuk mempertahankan pilkada langsung tetap relevan. Demokrasi adalah hak yang harus dijaga bersama — dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
(Akbar Endra)