menitindonesia, PENINGKATAN impor singkong yang mencapai sembilan kali lipat dalam beberapa waktu terakhir menjadi salah satu ancaman besar bagi sektor pertanian Indonesia. Kebijakan ini tidak hanya menghantam ekonomi petani lokal, tetapi juga memperlihatkan bagaimana kebijakan agraria sering kali tidak berpihak pada rakyat kecil.
Ironisnya, fenomena ini tidak hanya terjadi pada komoditas singkong. Dalam beberapa tahun terakhir, impor berbagai komoditas pertanian seperti beras, jagung, dan bawang juga terus meningkat, menyebabkan harga hasil pertanian lokal anjlok. Situasi ini memaksa petani kecil yang sudah berada di ujung tanduk untuk menghadapi realitas yang lebih pahit.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman tak tinggal diam. Dalam beberapa kesempatan, ia menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kebijakan impor yang dinilai tidak adil bagi petani lokal. Sebagai seorang menteri yang memahami persoalan agraria dari hulu hingga hilir, Andi Amran dengan tegas menyatakan bahwa impor yang tidak terkendali telah merusak struktur ekonomi pertanian kita.
Sikap Tegas Menteri Pertanian
Andi Amran dikenal sebagai sosok yang proaktif dalam melindungi petani lokal. Ia kerap menyerukan pengurangan impor dan mendorong peningkatan produktivitas pertanian dalam negeri. Namun, lonjakan impor singkong dan komoditas lainnya menjadi tamparan keras yang memaksa kita untuk meninjau kembali strategi ketahanan pangan nasional.
Menteri Pertanian menilai bahwa membanjirnya produk impor tanpa pengendalian yang jelas bukan hanya soal perdagangan. Ini adalah bentuk kegagalan dalam melindungi hak-hak petani yang telah bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan pangan bangsa. Ia bahkan menganggap bahwa kebijakan impor yang tidak berpihak pada petani jauh lebih destruktif dibandingkan tindakan eksploitasi di masa kolonial.
Dampak Kebijakan Impor terhadap Petani Lokal
Kebijakan impor yang longgar telah menekan harga singkong lokal hingga jatuh ke titik terendah. Banyak petani tidak lagi mampu menutupi biaya produksi, apalagi mendapatkan keuntungan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya dukungan terhadap sektor pertanian dalam negeri, baik dari segi subsidi, akses teknologi, maupun pemasaran hasil panen.
Data menunjukkan bahwa ketergantungan pada impor telah menciptakan efek domino yang merugikan petani. Harga singkong impor yang lebih murah menekan daya saing produk lokal, sementara pasar domestik dibanjiri komoditas dari luar negeri. Akibatnya, petani lokal harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang tidak layak, bahkan di bawah biaya produksi.
Arah Kebijakan: Menghentikan Impor Berlebihan, Mengutamakan Petani Lokal
Menteri Pertanian telah menyerukan perlunya langkah konkret untuk membatasi impor komoditas pertanian, termasuk singkong. Ia menegaskan pentingnya revitalisasi sektor pertanian melalui program-program yang memberdayakan petani lokal, seperti subsidi pupuk, peningkatan akses teknologi, hingga penciptaan pasar yang adil.
Namun, seruan ini membutuhkan dukungan politik dan kebijakan yang konsisten dari berbagai pihak. Tanpa koordinasi yang kuat, Indonesia akan terus bergantung pada produk impor, sementara petani lokal terpuruk di tengah kompetisi global yang tidak adil.
Saatnya Bertindak
Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia. Namun, potensi ini hanya akan menjadi mimpi jika kebijakan yang diambil tidak berpihak pada petani. Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang arah kebijakan agraria dan mengutamakan kedaulatan pangan melalui pemberdayaan petani lokal.
Kita tidak bisa terus membiarkan impor menjadi solusi instan yang mengorbankan masa depan sektor pertanian. Jika tidak segera diatasi, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh petani, tetapi juga oleh bangsa secara keseluruhan. (*)