Akbar Endra adalah Jurnalis Menis Indonesia, tugas di Jakarta. (ist)
Oleh Akbar Endra (Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – Di NEGERI ini, mungkin tak ada yang lebih kecewa—bahkan marah—kepada Joko Widodo (Jokowi) selain Megawati Soekarnoputri. Presiden ke-5 Republik Indonesia itu bukan hanya melihat Jokowi sebagai kader yang membangkang, tetapi juga sebagai seseorang yang dinilainya mengkhianati komitmen politik yang mereka bangun.
Bagi Megawati, hubungan politik bukan sekadar urusan strategi, tetapi juga ikatan batin yang seharusnya dijaga. Ia pernah berjuang mengangkat Jokowi dari Wali Kota Solo menjadi Gubernur DKI Jakarta, hingga akhirnya mendukungnya sebagai Presiden RI selama dua periode. Namun, dalam perjalanannya, Jokowi justru membangun jalannya sendiri, terpisah dari bayang-bayang PDI-P.
Di akhir masa kepemimpinannya, hubungan Jokowi dan Megawati mencapai titik nadir. Sikap politik Jokowi yang semakin menjauh dari PDI-P dan semakin dekat dengan Prabowo Subianto, membuatnya seolah berhadapan dengan dua kekuatan sekaligus.
Namun, ada satu perbedaan besar: jika Megawati memiliki pengaruh kuat di PDI-P, Jokowi harus menghadapi realitas bahwa ia bukan lagi pemegang kekuasaan penuh. Kendali pemerintahan telah berpindah tangan ke Prabowo. Dan, Prabowo adalah sosok yang tak mudah dikendalikan.
Prabowo dan Strategi Mengendalikan Papan Catur
Prabowo, yang dalam politik ibarat grandmaster catur, memainkan strategi cermat dalam menghadapi dinamika ini. Ia tak terburu-buru mengambil keputusan, tetapi membaca situasi dengan teliti sebelum melangkah.
Pertama, Prabowo menjaga hubungan baik dengan Megawati. Sebagai tokoh senior politik, Megawati tetap memiliki pengaruh besar dalam skema kekuasaan nasional. Kedua, sikap hormat Prabowo terhadap Megawati bukan hanya bentuk etika politik, tetapi juga strategi untuk meredam potensi konflik dengan PDI-P.
Di sisi lain, Prabowo juga merangkul Jokowi dan jaringan politiknya. Ia memahami bahwa infrastruktur politik yang dibangun Jokowi selama dua periode masih memiliki pengaruh kuat, terutama di kalangan elite politik dan birokrasi. Dengan memberikan ruang bagi orang-orang Jokowi dalam pemerintahan, Prabowo memastikan transisi kekuasaan berjalan mulus tanpa perlawanan berarti.
Namun, setelah berhasil memahami peta kekuatan serta jaringan amunisi politik Jokowi, Prabowo mulai menjalankan strategi berikutnya: meredam pengaruh politik Jokowi secara perlahan tapi pasti–alon-alon asal kelakon.
Jokowi Tidak Bisa Mengendalikan Prabowo
Di sinilah titik krusial yang sering disalahpahami: Prabowo bukan pemimpin yang bisa dikendalikan oleh Jokowi. Sejak masih berpangkat kapten di Kopassus, Prabowo sudah memiliki visi besar untuk membawa Indonesia menjadi negara yang mandiri dan maju. Ia tidak sekadar mengikuti arus politik, tetapi membangun kekuatannya secara sistematis–baik dalam militer maupun dalam panggung politik nasional.
Sebagai perwira yang lahir dan besar di lingkungan tentara, Prabowo berkembang dalam atmosfer kepemimpinan yang keras, disiplin, dan penuh strategi. Ia memahami taktik tempur, loyalitas pasukan, serta cara mengendalikan komando dalam situasi krisis.
Jokowi, di sisi lain, berasal dari latar belakang yang berbeda. Sebagai pengusaha kayu yang kemudian menjadi Wali Kota, Gubernur, hingga Presiden, ia memang memiliki kecerdikan politik dan strategi komunikasi yang baik. Namun, dalam hal mengendalikan jaringan kekuasaan secara struktural, Jokowi bukanlah tandingan Prabowo yang telah matang dalam berbagai level kepemimpinan militer dan politik.
Sangat mustahil jika Jokowi bisa mengendalikan Prabowo yang telah ditempa dari level pleton, batalyon, Komandan Kopassus, Panglima Kostrad, hingga Ketua Umum Partai Gerindra—partai yang kini menjadi salah satu kekuatan politik terbesar di Indonesia.
Prabowo Bukan Pemimpin Boneka
Ada anggapan bahwa Prabowo akan menjadi pemimpin yang tetap berada di bawah bayang-bayang Jokowi setelah transisi kekuasaan terjadi. Namun, sejarah politik Prabowo membuktikan bahwa ia bukan tipe pemimpin yang mau dikendalikan oleh kepentingan lain.
Sebagai seorang nasionalis dengan ideologi kebangsaan yang kuat, Prabowo akan memimpin negara ini sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai boneka politik.
Langkah-langkahnya dalam beberapa bulan ke depan akan semakin memperjelas arah kepemimpinannya. Sejumlah kebijakan ekonomi, reposisi pejabat strategis, serta pembangunan narasi politik akan menjadi alat efektif untuk menggeser dominasi kelompok Jokowi tanpa harus melakukan konfrontasi langsung.
Prabowo akan memastikan bahwa para elite yang sebelumnya bergantung pada Jokowi mulai bergeser dan menyesuaikan diri dengan realitas politik baru. Dengan pendekatan ini, ia tidak perlu menciptakan konflik terbuka, melainkan cukup menciptakan kondisi di mana pengaruh Jokowi perlahan-lahan meredup dengan sendirinya.
Masa Depan Politik Jokowi: Bertahan atau Tergusur?
Dengan strategi ini, Jokowi berhadapan dengan dilema besar. Apakah ia akan menerima kenyataan bahwa eranya perlahan mulai meredup dan menyesuaikan diri dengan peran baru, ataukah ia akan mencoba bertahan dan membangun kekuatan politik di luar kendali Prabowo?
Jika Jokowi memilih jalur konfrontasi, ia harus menghadapi fakta bahwa ia tidak lagi memiliki kendali penuh atas pemerintahan. Tanpa kekuasaan eksekutif, tanpa akses langsung ke kebijakan strategis, dan tanpa loyalitas penuh dari elite politik, posisinya menjadi jauh lebih lemah dibanding saat ia masih menjabat sebagai presiden.
Namun, politik Indonesia selalu penuh kejutan. Jokowi mungkin masih memiliki langkah tersisa yang bisa mengubah jalannya permainan. Bagaimanapun juga, papan catur politik masih terbuka, dan setiap pemain pasti memiliki gerakan rahasia yang belum terbaca. (*)