OPINI: Bahlil Bermain Api! Kontroversi LPG 3 Kg Bisa Berujung Reshuffle?

Akbar Endra kini adalah Jurnalis Menit Indonesia, bertugas dan tinggal di Jakarta.

Oleh Akbar Endra
(Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – KEBIJAKAN Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia terkait distribusi LPG 3 kg menjadi salah satu polemik terbesar di awal pemerintahan Prabowo-Gibran. Masyarakat yang sebelumnya dengan mudah mendapatkan gas melon di pengecer, kini harus berjalan lebih jauh untuk membelinya di pangkalan resmi. Dampaknya bukan hanya menyusahkan rakyat kecil, tetapi juga menciptakan kegaduhan politik yang berisiko bagi posisi Bahlil, baik sebagai menteri maupun sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Sejarah LPG 3 Kg: Peran SBY dan Jusuf Kalla dalam Konversi Minyak Tanah

LPG 3 kg pertama kali diadakan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai bagian dari program konversi minyak tanah ke gas yang dicanangkan pada 2007. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah yang saat itu disubsidi besar-besaran oleh pemerintah. Dengan peralihan ke LPG 3 kg, negara dapat menghemat anggaran energi, sementara masyarakat mendapatkan bahan bakar yang lebih efisien dan ekonomis.
BACA JUGA:
Makan Siang Bersama JK, Prabowo Bahas soal Gabah hingga Stok Pangan Jelang Ramadan
Di balik keberhasilan program ini, peran Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla (JK), sangat krusial. JK dikenal sebagai sosok yang aktif mendorong percepatan implementasi kebijakan konversi energi. Dengan pengalaman dan jaringan luasnya di dunia usaha, JK memastikan bahwa distribusi tabung LPG 3 kg berjalan lancar hingga ke pelosok negeri. Ia juga menjadi negosiator utama dalam kerja sama dengan berbagai perusahaan untuk mempercepat penyediaan infrastruktur pendukung, seperti pabrik tabung gas dan distribusi agen resmi.
Hasilnya, program ini sukses besar. Jutaan rumah tangga dan usaha kecil di seluruh Indonesia beralih dari minyak tanah ke LPG 3 kg. Pendistribusiannya pun melibatkan berbagai jalur, mulai dari agen resmi, pangkalan, hingga pengecer di tingkat warung-warung kecil, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mendapatkannya.
Namun, dalam perjalanannya, program ini menghadapi berbagai tantangan, seperti kelangkaan pasokan, distribusi yang tidak merata, hingga spekulasi harga oleh pengecer nakal. Meskipun demikian, pada masa SBY-JK, pemerintah tidak pernah mengeluarkan kebijakan ekstrem seperti menghapus peran pengecer secara mendadak, yang kini menjadi blunder besar Bahlil Lahadalia.

Gaduh Akibat Kebijakan Bahlil

Keputusan Bahlil untuk menghapus pengecer LPG 3 kg dan memusatkan penjualan di pangkalan resmi langsung menimbulkan gejolak. Masyarakat yang terbiasa membeli di pengecer terdekat kini harus berjalan lebih jauh, hingga 500 meter atau bahkan 1 kilometer, untuk mendapatkan LPG. Bagi masyarakat perkotaan, ini merepotkan. Bagi warga desa atau daerah terpencil, ini menjadi masalah serius.
BACA JUGA:
BPOM dan KPK Perkuat Sinergi dalam Pengawasan Obat dan Makanan
Bahlil berdalih bahwa kebijakan ini diambil untuk memastikan subsidi LPG tepat sasaran dan mencegah permainan harga di tingkat pengecer. Namun, cara eksekusinya terkesan terburu-buru, tanpa sosialisasi yang matang, dan tanpa alternatif distribusi yang jelas. Akibatnya, antrean panjang terjadi di pangkalan-pangkalan resmi, sementara pengecer yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi kehilangan mata pencahariannya.
Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, bahkan sudah mengingatkan Bahlil, agar masalah ini segera diselesaikan. Dasco mengungkapkan, bahwa kebijakan yang menyusahkan rakyat kecil–yang dibuat oleh bahlil tanpa sepengetahuan Presiden Prabowo Subianto.
Publik yang terkena dampaknya menjadi marah besar kepada Bahlil. Mengapa kebijakan ini dipaksakan jika belum siap? Mengapa Bahlil selaku Menteri ESDM tidak mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi dari kebijakan ini sebelum diterapkan?

Blunder Politik di Golkar

Tidak hanya menjadi blunder kebijakan, kegaduhan ini juga berpotensi mengguncang posisi Bahlil di internal Partai Golkar. Sejak terpilih sebagai Ketua Umum Golkar, Bahlil mendapat dukungan penuh dari Presiden Prabowo Subianto. Namun, kontroversi LPG ini memberikan celah bagi lawan-lawan politiknya di Golkar untuk menggoyang posisinya.
Golkar, sebagai partai dengan basis kuat di kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah, tentu tidak ingin kehilangan dukungan akibat kebijakan yang menyusahkan rakyat kecil. Sejumlah elite partai mulai mendengungkan wacana “evaluasi kepemimpinan” di Golkar.
“Partai Golkar selalu berpihak pada rakyat kecil, bukan kepada Bahlil. Kalau ada kebijakan yang merugikan rakyat, tentu harus dievaluasi,” ujar seorang kader senior Golkar yang enggan disebutkan namanya.
Bahlil kini berada dalam posisi sulit. Jika ia tetap bersikeras dengan kebijakan ini, bukan hanya posisinya sebagai menteri yang terancam, tetapi juga masa depannya di Golkar. Sebaliknya, jika ia mencabut kebijakan ini, itu berarti mengakui kesalahannya—sesuatu yang jarang dilakukan oleh seorang politisi.

Akankah Bahlil Bertahan?

Kebijakan LPG 3 kg yang diambil Bahlil Lahadalia telah menjadi bom waktu bagi dirinya sendiri. Blunder ini bukan hanya memperumit kehidupan masyarakat, tetapi juga mengguncang stabilitas politiknya di Golkar.
Pemerintahan Prabowo-Gibran tentu tidak ingin terganggu oleh kontroversi yang seharusnya bisa dihindari. Jika Bahlil tidak segera menemukan solusi yang memuaskan masyarakat, bukan tidak mungkin Prabowo akan turun tangan langsung untuk meredam kegaduhan ini—dan itu bisa berujung pada reshuffle kabinet.
Akankah Bahlil bertahan, ataukah ia akan menjadi korban pertama dalam dinamika politik di era Prabowo-Gibran? Waktu yang akan menjawab. (*)