OPINI – Amran Sulaiman dan Revolusi Pertanian Indonesia: Cetak Sawah dan Petani Milenial

Penulis adalah Jurnalis Menit Indonesia, bertugas di Jakarta. (ist)

Oleh Akbar Endra
(Penulis adalah Jurnalis Menit Indonesia)
menitindonesia – KETIKA dunia dilanda ancaman krisis pangan akibat perubahan iklim ekstrem, konflik geopolitik, dan disrupsi rantai pasok global, Indonesia justru memilih kembali ke akar: mempercayakan pertanian nasional kepada seorang putra Bugis yang tak hanya akademisi, tapi juga petarung lapangan—Dr. Andi Amran Sulaiman. Ia bukan teknokrat birokratis yang hanya lihai membuat kebijakan di atas kertas. Amran adalah insinyur pertanian, doktor di bidang perlindungan tanaman yang ahli soal hama, dan paham betul anatomi pertanian dari soal tanah, cuaca, hingga perilaku pasar.
BACA JUGA:
Genderang Perang Dagang AS, Indonesia Kena Tarif Impor Setara China dan Taiwan
Amran memang bukan anak petani, tetapi berasal dari keluarga sederhana di Bone, Sulawesi Selatan. Ayahnya adalah seorang pensiunan tentara prajurit, yang ikut berjuang, gerilya. Dari situlah karakter militansi dan semangat merah putih tertanam kuat dalam dirinya. Ia menapaki pendidikan tinggi hingga meraih gelar doktor di Universitas Hasanuddin, dengan kerja keras, bukan karpet merah. Latar belakang ini membentuknya menjadi pemimpin yang tak gampang menyerah, dan punya orientasi kerja nyata, bukan pencitraan.
Kini, untuk kedua kalinya, Amran dipercaya menjabat Menteri Pertanian, kali ini oleh Presiden Prabowo Subianto, setelah sebelumnya juga menjabat di era Presiden Joko Widodo. Targetnya besar dan menantang: menjadikan Indonesia negara swasembada pangan yang mandiri dan tangguh. Ia menyadari bahwa kedaulatan pangan tak bisa dibangun dengan cara-cara biasa. Butuh langkah terobosan, keberanian politik, dan ketegasan moral untuk membebaskan sektor pertanian dari cengkeraman para spekulan dan mafia.
Sejak dilantik kembali, Amran langsung tancap gas. Ia mendistribusikan bantuan pertanian secara massif, membangun infrastruktur irigasi, dan yang paling ambisius—program cetak sawah jutaan hektare di berbagai daerah. Ia ingin memastikan bahwa lahan-lahan tidur bisa kembali hidup dan produktif. Namun, bagi Amran, lahan luas bukan segalanya. Ia sadar, tanpa generasi petani baru, semua akan sia-sia. Karena itu, ia merancang program regenerasi petani: menyasar pemuda-pemudi agar mau turun ke sawah, menjadi pionir pertanian modern, berbasis teknologi, dan punya visi kewirausahaan.
IMG 20250404 WA0001 11zon e1743748196159
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat meninjau langsung lahan pertanian di perbatasan. Ia turun ke sawah, berbicara dengan petani, memastikan program swasembada pangan berjalan nyata.
Amran tak sekadar memotivasi dengan kata-kata. Ia membangun sistem pendukung: pelatihan, akses permodalan, dan pemberdayaan kelompok tani muda. Ia ingin membalik stigma bahwa bertani itu identik dengan kemiskinan. Justru sebaliknya, ia membuka mata banyak orang bahwa sumber kemakmuran Indonesia ada di sektor pertanian, jika dikelola dengan benar dan sungguh-sungguh.

Membangun Lahan, Membangun Harapan

Dalam pemikiran global, seperti yang dikemukakan Joel K. Bourne Jr. dalam bukunya The End of Plenty, dunia membutuhkan revolusi pangan berbasis teknologi, kebijakan berkeadilan, dan semangat lokal. Inilah yang sedang dijalankan Amran. Ia tak ingin petani hanya jadi buruh di ladangnya sendiri. Petani harus punya daya tawar dan posisi strategis dalam sistem pangan nasional.
BACA JUGA:
Respons Pemerintah Indonesia Atas Kebijakan Tarif 32 Persen Produk Ekspor Oleh Amerika
Karena itu, Amran memerangi mafia pupuk secara terbuka. Ia membuka jalur distribusi yang selama ini sempit dan penuh permainan, lalu memastikan pupuk subsidi benar-benar sampai ke tangan petani, bukan ke gudang para spekulan. Ia ingin tak ada lagi petani yang menangis di musim tanam hanya karena pupuk tak tersedia. Distribusi pun dibuat longgar dan transparan agar aksesnya mudah, murah, dan tepat sasaran. Amran tahu, keadilan dimulai dari hal-hal yang paling dasar—seperti soal pupuk.
Lebih dari itu, Amran juga berperang melawan mentalitas impor. Baginya, swasembada bukan sekadar target produksi, melainkan soal harga diri bangsa. Ia memperkuat cadangan beras nasional, memberantas mafia pangan, dan menghidupkan kembali ekosistem pertanian yang selama ini mati suri karena kalah bersaing dengan barang impor.
Dalam konteks global, perjuangan Amran sejalan dengan filosofi food sovereignty yang digaungkan aktivis pangan Vandana Shiva: pangan bukan sekadar komoditas ekonomi, tapi hak dasar rakyat, yang harus dikontrol oleh bangsa sendiri, bukan oleh pasar global.
Amran memang bukan sosok sempurna. Tapi ia bukan tipe pejabat yang menunggu perubahan datang. Ia datang membawa perubahan. Ia memberi harapan kepada petani bahwa kesejahteraan itu mungkin. Ia menunjukkan kepada rakyat bahwa kemakmuran Indonesia bisa dibangun dari lumpur sawah, bukan hanya dari gemerlap kota.
Ia mengangkat derajat petani bukan dengan slogan, tapi dengan kerja keras dan komitmen untuk hadir langsung di tengah-tengah mereka. Dan di saat dunia gamang menghadapi masa depan pangan, Indonesia—bersama Amran—justru sedang menyiapkan fondasi kedaulatan yang kokoh dari ladang-ladang sendiri.