Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak bantah penjual lele bisa masuk penjara.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menegaskan bahwa penjual pecel lele di trotoar tidak bisa dijerat UU Tipikor. Ini tanggapan kerasnya terhadap argumen pakar di MK.
menitindonesia, JAKARTA — Perdebatan hukum kembali membara di ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Bukan karena pejabat tinggi atau korporasi besar, tapi karena seorang figur sederhana: penjual pecel lele di trotoar.
Pernyataan mengejutkan datang dari pakar hukum, Chandra M Hamzah, yang menyebut Pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) bisa menjerat siapa saja—termasuk pedagang kecil seperti penjual pecel lele. Dalihnya, mereka melanggar hukum dengan berdagang di trotoar, dan itu bisa dikategorikan sebagai korupsi.
Pernyataan ini sontak membuat ruang publik gaduh. Apakah hukum sedang kehilangan akal sehatnya? Atau justru ini tamparan keras bagi rumusan hukum yang longgar dan multitafsir?
Karikatur Penjual Lele di trotoar jalan.
Penjual Pecel Lele Bukan Koruptor!
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak segera angkat bicara. Ia membantah keras argumen pakar tersebut dan menyebut penafsiran hukum harus memiliki dasar yang rasional dan ilmiah. “Menurut saya, setiap orang boleh berpendapat, tapi pendapatnya harus jelas dasar dan alasan hukumnya,” tegas Johanis kepada wartawan, Sabtu (21/6/2025).
Ia menyoroti pentingnya rasio legis—logika dan tujuan dari setiap pasal hukum. Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, lanjut Johanis, tak bisa serta merta digunakan seenaknya untuk menjerat siapa saja. Terlebih, bila menyasar warga kecil yang berdagang demi bertahan hidup.
“Sudah dapat diketahui oleh umum bahwa tidak mungkin perbuatan penjual pecel lele di trotoar mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara,” ujarnya lantang.
Ambiguitas Pasal dan Asas Lex Certa
Chandra Hamzah, mantan pimpinan KPK yang kini menjadi ahli dalam sidang uji materi itu, tetap bersikukuh bahwa ada potensi abuse of power jika pasal-pasal tersebut tidak direvisi. Ia menyebut rumusan pasal sangat kabur, bahkan melanggar asas lex certa (kepastian hukum) dan lex stricta (tidak boleh ditafsirkan secara analogi).
Menurut Chandra, ketentuan “setiap orang” yang berbuat “melawan hukum” bisa menjadi pasal karet, dan celah ini membahayakan prinsip keadilan.
“Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor kalau saya berpendapat, sebaiknya dihapuskan. Pasal ini terlalu longgar dan bisa menyeret siapa pun, bahkan pedagang kaki lima,” katanya.
Ia bahkan mengusulkan agar Pasal 3 juga direvisi sesuai norma dalam Article 19 UNCAC, dengan mengganti frasa “setiap orang” menjadi “pegawai negeri” dan “penyelenggara negara”.
Perdebatan yang Menyentuh Nadi Demokrasi
Isu ini lebih dari sekadar tafsir hukum. Ini soal keadilan. Soal siapa yang dilindungi dan siapa yang dikorbankan oleh sistem.
Di satu sisi, penjual pecel lele yang bekerja keras demi sesuap nasi, dan di sisi lain, celah hukum yang bisa dipakai untuk menjerat rakyat kecil sementara banyak tikus berdasi lolos dari jerat hukum.
Maka, suara Johanis Tanak menjadi penting: hukum harus berdiri di atas asas keadilan, bukan sekadar tafsir. Dan pecel lele, seharusnya tidak pernah jadi simbol kriminalitas dalam negara hukum.