menitindonesia, JAKARTA – Perkembangan besar terjadi di Jalur Gaza. Israel secara mengejutkan menghentikan total operasi militernya untuk merebut Gaza City setelah mencapai kesepakatan awal dengan Hamas terkait rencana perdamaian yang digagas Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump.
Radio Tentara Israel Galei Tzahal, Sabtu (4/10/2025), melaporkan keputusan itu diambil usai penilaian situasi mendalam dan negosiasi intensif antara pemerintah Israel dan perwakilan AS. Pemerintah Israel kemudian menginstruksikan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk mengurangi aktivitas militer secara signifikan dan berfokus pada langkah-langkah defensif.
“Instruksi ini secara efektif berarti penghentian operasi ofensif yang bertujuan menguasai Kota Gaza,” ujar sumber militer Israel dikutip Galei Tzahal.
Langkah Israel itu menjadi respons atas pernyataan resmi Hamas pada Jumat (3/10/2025), yang menyatakan menerima secara prinsipil rencana perdamaian dari Trump. Dalam kesepakatan tersebut, Hamas menyatakan siap membebaskan seluruh sandera Israel, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal, sesuai mekanisme pertukaran yang disepakati.
Selain itu, Hamas juga bersedia menyerahkan pemerintahan di Jalur Gaza kepada komite konsensus nasional Palestina yang melibatkan berbagai faksi. Langkah ini disebut sebagai upaya untuk memastikan masa depan Gaza ditentukan oleh seluruh rakyat Palestina.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut positif langkah tersebut dan menyatakan siap melaksanakan tahap pertama rencana damai, yakni pembebasan seluruh sandera.
Rencana perdamaian yang diusung Trump mencakup empat poin utama: gencatan senjata segera, pertukaran sandera-tahanan, penarikan bertahap pasukan Israel, serta demiliterisasi Gaza.
Meski belum ada gencatan senjata formal, penghentian operasi militer Israel dan kesediaan Hamas melepaskan kendali pemerintahan menunjukkan implementasi awal kesepakatan sudah dimulai.
“Ini kesempatan nyata bagi perdamaian Timur Tengah yang telah lama dicari,” kata Presiden Trump dalam pernyataannya di Washington.
Hamas Tolak Serahkan Senjata: “Selama Pendudukan Berlanjut, Perlawanan Akan Terus Ada”
Namun, upaya damai itu langsung menghadapi ganjalan besar. Hamas secara tegas menolak klausul perlucutan senjata yang menjadi salah satu syarat utama dalam rencana Trump.
Juru bicara Hamas di Lebanon, Walid Kilani, menegaskan pada Sabtu (4/10/2025) bahwa isu penyerahan senjata tidak termasuk dalam kesepakatan yang disetujui secara prinsipil.
“Sikap kami jelas dan tegas: selama pendudukan berlanjut, perlawanan akan terus ada,” kata Kilani.
Menurutnya, Hamas tidak akan menyerahkan senjata kecuali jika Palestina telah menjadi negara berdaulat dengan tentara nasional sendiri.
“Senjata perlawanan adalah simbol kedaulatan dan perlindungan rakyat Palestina. Itu hanya akan diserahkan setelah berdirinya negara Palestina yang berdaulat,” tegasnya.
Meski menolak demiliterisasi, Hamas menegaskan fokus utama saat ini adalah penerapan gencatan senjata penuh sebagai langkah awal menuju perdamaian.
“Fokus utama gerakan ini adalah gencatan senjata. Isu lainnya bisa dibicarakan nanti,” ujar Kilani.
Hamas juga menyambut positif beberapa poin dalam proposal Trump, termasuk larangan pengusiran warga Palestina dari tanah mereka, serta rencana pembentukan pemerintahan teknokrat berbasis konsensus nasional.
“Keputusan siapa yang memerintah Gaza adalah hak seluruh rakyat Palestina, bukan hanya Hamas,” tandasnya.
Rencana Damai di Persimpangan Jalan
Penolakan terhadap klausul demiliterisasi menempatkan rencana damai Trump di posisi sulit. Meski Israel telah menghentikan serangan dan Hamas bersedia melakukan pertukaran sandera, perbedaan pandangan soal status senjata diyakini akan menjadi isu paling sensitif dalam perundingan lanjutan.
Fase berikutnya akan menjadi penentu apakah kesepakatan ini benar-benar membuka babak baru perdamaian atau kembali terjebak dalam siklus konflik yang sama.