Dampak Bencana di Luwu Utara Terhadap Produksi Kakao Sulsel dan Nasional

Muhammad Junaid, SP., MP., PhD - Foto Doc penulis.

Oleh Muhammad Junaid, SP., MP., PhD
(Cocoa Research Group, Fakultas Pertanian Unhas)

Beberapa hari sebelum bencana banjir bandang menimpa Luwu Utara, penulis mengikuti seminar online tentang kakao yang diselenggarakan oleh Gamal Institute bekerjasama dengan Unhas, ICCRI, dan Pemprov Sulsel. Seminar ini membahas prospek perkebunan kakao di masa dan pasca Covid-19. Bupati Luwu Utara, Indah Putri Indriyani, hadir sebagai pembicara utama.

Kini pembicaraan soal prospek perkebunan kakao khususnya di Luwu Utara itu seakan sirna secepat banjir bandang terjadi. Bencana banjir bandang kali ini termasuk terbesar sejak sebelumnya terjadi di tahun 2000-an silam.

Diantara komoditas unggulan, tanaman kakao dan petaninya sangat unik. Jika terganggu atau mati dalam proses pertumbuhannya, komoditas ini memerlukan waktu relatif lama untuk pulih (recovery).

Kakao butuh waktu sekitar 2 tahun atau lebih. Waktu tunggu petani akan produksi pun relatif lama dibandingkan tanaman semusim. Selain itu, status petani kakao terbilang jauh dari kesejahteraan, mereka umumnya tidak sebahagia dulu lagi.

Dampak banjir terhadap produksi kakao

Data sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa luas areal pertanaman kakao dan produksi di Luwu Utara mampu berkontribusi sekitar 14% di Sulsel. Kontribusinya sangat signifikan yaitu sebesar 77% dari luas lahan kakao di Luwu Raya (Sumber: BPS).

Dampak yang ditimbulkan oleh banjir terhadap produksi kakao sangat signifikan. Produksi buah/biji kakao berpotensi alami penurunan, terutama karena dua aspek, yaitu: tanaman hilang, rusak atau mati; dan hilangnya sebagian populasi petani kakao.

Sejauh ini, pembicaran ancaman penurunan produksi secara regular yang didominasi oleh isu organisme pengganggu tanaman (OPT). Tetapi banjir bandang kini mengubah pandangan kita, sebab sekali terjadi berdampak luas. Banjir kali ini menimpa tiga kecamatan utama penyumbang produksi kakao Luwu Utara, yaitu Sabbang, Masamba, dan Baebunta.

Berdasarkan laporan yang penulis terima, jumlah penduduk yang mengungsi di tiga kecamatan itu mencapai 3.627 kepala keluarga, terdiri atas 14.483 jiwa.

Jika diasumsikan setiap kepala keluarga mengelola 1 hektar tanaman kakao, maka ada sekitar 3.627 ha areal pertanaman kakao yang berpotensi kena dampak. Data BPS menunjukkan bahwa total areal pertanaman kakao di Luwu Utara sebesar 35.766 ha dengan produksi 21.201 ton.

Artinya, ada potensi penurunan populasi tanaman kakao di kabupaten ini terjadi karena menyisahkan areal pertanaman seluas 32.139 ha saja.

Jika diasumsikan 1 ha setara dengan 1000 pohon, populasi tanaman kakao hilang akibat banjir bandang bisa dapat mencapai 3.627.000 pohon. Sementara produksi satu pohon kakao selama satu tahun sebanyak 100 kg biji basah, prediksi kehilangan produksi kakao tahun yang akan datang dapat dihitung sebesar 300.627 ton.

Suplai biji kakao turun

Prediksi penurunan suplai produksi dari Luwu Utara secara drastis itu beralasan. Tiga kecamatan penghasil kakao yang terdampak, memiliki populasi tanaman kakao yang hilang, rusak atau mati karena tersapu oleh material-material pohon atau benda berat lainnya. Selain itu, tutupan lumpur mencapai hampir 1,5 meter yang mampu membenamkan pohon kakao.

Kalau pun tanaman masih hidup, dibutuhkan waktu recovery karena stress dimana fase pembuahan akan terganggu. Oleh sebab itu, dampak banjir bandang ini secara langsung berpotensi mempengaruhi penurunan suplai produksi kakao dari kabupaten ini ke regional dan nasional pada tahun-tahun akan datang.

Potensi tanaman tidak bertuan

Petani dan tanaman kakao tidak dapat dipisahkan. Tanpa petani, produksi tidak dihasilkan. Dalam situasi normal, tanaman kakao tumbuh dan berproduksi secara teratur dan dipanen untuk sebagai biji kakao karena adanya keterlibatan petani.

Tetapi situasinya sekarang beda. Laporan korban mengungsi di lokasi bencana mencapai lebih 14,386 jiwa. Angka kehilangan dan kematian penduduk kemungkinan bertambah seiring dengan waktu. Kondisi yang memprihatinkan ini memastikan bahwa banyaknya luasan lahan kakao di tiga kecamatan tersebut tidak bertuan lagi.

Tanaman kakao yang tidak terurus akan menyebabkan lambatnya proses recovery. Dengan demikian, gap antara jumlah produksi buah sebelum bencana dan paska bencana diprediksi akan sangat lebar.

Solusi dan rekomendasi

Untuk mengatasi persoalan tersebut, penulis mengajukan beberapa rekomendasi.

Pertama, mitigasi bencana dan pemantauan atau pendataan ulang areal pertanaman kakao yang terdampak. Pendataan ulang secara manual sulit dilakukan karena kondisi medan yang belum bersahabat. Untuk itu, kegiatan mitigasi ini dapat dilakukan melalui teknologi citra satelit dan drone. Pendekataan aerial view ini lebih cepat, akurat dan terukur, sehingga dapat menentukan akurasi dan real data.

Kedua, kerjasama antara akademisi, praktisi, dan pemerintah (provinsi dan kabupaten) untuk memastikan koordinasi mitigasi bencana berdampak pada populasi tanaman kakao dan petaninya. Keuntungan data yang terupdate sangat membantu para peneliti, pemerintah, pengusaha, dan stakeholder lainnya untuk melakukan tindakan analisis kebijakan dan langkah langkah yang dipandang perlu.

Ketiga, pendataan petani kakao yang meninggal, hilang, atau mengungsi juga sama pentingnya. Pendataan itu dapat dilakukan oleh pemerintah setempat setelah kondisi sudah membaik.

Terakhir, banjir bandang ini membuka peluang untuk melakukan revitalisasi tanaman kakao secara massif di Kabupaten Luwu Utara. Sebelumnya, hal ini sulit dilakukan 100%, akibat terkendala karena petani dan pengetahuaannya serta kondisi lahan yang masih ada tanaman kakaonya.

Dengan musibah ini, penanaman ulang atau peremajaan tanaman kakao tua untuk percepatan recovery produksi di kabupaten ini dapat dibangkitkan kembali dalam kurun 2 tahun kedepan. Hal ini membutuhkan intervensi pemerintah provinsi, sehingga kebijakan penanaman ulang dapat segera diwujudkan.(^)