ZAINAL TAHIR — catatan kedua

Almarhum H. Zainal Tahir (Zette)

Oleh Tomi Lebang
Ini catatan kedua saya tentang seorang sahabat. Yang pertama saya tuliskan lima tahun silam, saat ia dalam pusaran berita karena sebuah peristiwa di tanah air. Dan kedua, larut malam ini: beberapa saat setelah mendengar kabar kepergiannya.
Ya, Zainal Tahir, sahabat yang usianya empat tahun di atas saya, telah berpulang ke hadirat Allah SWT di sebuah rumah sakit di Cengkareng, Jakarta Barat, menjelang pergantian hari tengah malam tadi.
Dan catatan kedua ini sebagian besar adalah penggalan kisah yang pernah saya tuliskan, lima tahun lalu itu.
***
WhatsApp Image 2020 09 23 at 19.21.06
Puzzle – Zainal Tahir –
PERNAH ada masa, ketika orang bertanya kepada saya: “Apa cita-citamu?”
Dan jawaban saya singkat: “Saya ingin menjadi Zainal Tahir.”
Tapi itu dulu. Duluuuu sekali.
Saya mengenal Zainal sebagai seorang pejuang. Ya, pejuang. Ia pejuang bagi keluarganya di Gowa. Tak usahlah saya ceritakan keluarganya. Cukuplah kita tahu, bahwa di masa sebelum mengenal kami teman-temannya, Zainal pernah bekerja sebagai pencatat meteran listrik PLN. Ia pernah terluka digigit anjing peliharaan pemilik rumah ketika tengah menjalankan tugasnya. Ia juga pernah lama menjadi pelayan di warung coto Makassar, Coto Sunggu, di Sungguminasa, Gowa.
Ia seorang yang tekun menekuri segala. Dengan keringatnya sendiri, Ia bisa menamatkan kuliah di Universitas Hasanuddin. Setelah itu, ia bekerja di Harian Fajar di bagian iklan. Di tahun-tahun awal 90-an, Zainal bahkan dikenal sebagai lelaki romantis. Ia rajin menulis cerita cinta remaja di koran-koran, termasuk di Majalah Anita Cemerlang.
Setelah itu, hidup Zainal seperti jalur jalan ke kampung halamannya di Gowa: berkelok tapi menanjak. Ia menangani halaman iklan Harian Fajar, terpilih menjadi Ketua KPU Gowa di tahun 2004, sembari jadi pengusaha.
WhatsApp Image 2020 09 23 at 19.31.43
Puzzle – Zainal Tahir – dibuat sebulan sebelum dia terkena Covid-19.
Dia pengusaha almugada — apa lu mau gua ada.
Ia pernah punya izin titik papan reklame yang mengangkangi jalan dua lajur di jalan poros AP Pettarani, Makassar, ia berdagang saham, bisnis properti kecil-kecilan, toko busana, dan lain-lain. Semuanya kecil-kecilan tapi menghasilkan. Untuk kreativitasnya berbisnis ini, saya mengaguminya. Ia mengentaskan hidup keluarga besarnya. Ia seorang pejuang.
Di luar itu semua, Zainal punya banyak kawan. Ia berteman melintas profesi. Kami berteman.
Saya sudah tinggal bertahun-tahun di Jakarta, ketika Zainal Tahir menyusul berpindah bersama keluarganya, pasca kegagalannya menjadi caleg pada pemilihan umum legislatif tahun 2014. Dan di tengah sistem pemilu yang centang perenang ini, kegagalannya harus ia tebus dengan mahal. Ia memilih pindah dari Makassar.
Di Jakarta inilah Zainal kembali bertemu dan akrab dengan kawan-kawan lama: saya, Aidir Amin Daud, Supriansa, Buyung Wijayakusuma, Ronny de Fretes, dan lain-lain.
Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu. Hampir tiada hari tanpa bertemu atau berkabar dengannya. Apalagi satu dua tahun terakhir, ketika kami bernaung di kantor yang sama: TawafTV yang kami dirikan bersama Buyung Wijayakusuma. Kami bertiga menjadi direktur di stasiun televisi berita Islam itu, meski saya tak begitu aktif di keseharian.
Kami bertemu dan berpetualang bersama. Perjalanan ke banyak kota dan daerah, ke berbagai negara, dari Korea Selatan, Singapura, Afrika Selatan, Azerbaijan, Georgia, Qatar, Oman, juga dua kali menunaikan ibadah umrah bersama. Di Jakarta, kami kerap ke pulau, dan melihat ketangkasan Zainal berenang. Ia seorang perenang alam yang kuat. Ia senang berenang di laut. Ia sering berenang di pantai pulau-pulau Kepulauan Seribu.
Tidak hanya dengan Zainal, saya juga akrab dengan keluarganya, dengan anak-anaknya. Dari keakraban itu saya tahu: Zainal begitu berbakti kepada sang Ibu, sangat memuja istrinya, dan menancapkan tekad yang begitu kukuh untuk kecemerlangan masa depan empat orang putranya. Anak sulungnya ia sekolahkan di Jerman, anak keduanya sempat mengenyam pendidikan di Selandia Baru dan Amerika Serikat, anak ketiga di Universitas Multimedia Nusantara, dan anak bungsunya di satu sekolah internasional di Jakarta.
Untuk masa depan anak-anaknya ini, Zainal Tahir benar-benar total mendarmakan waktu dan hidupnya. “Buat apa saya kerja keras kalau bukan untuk sekolah anak-anakku?” kata Zainal dengan nada bertanya, suatu hari, ketika saya meledeknya, kenapa terlalu serius memgurus sesuatu.
Belakangan, di sela-sela waktunya, Zainal menggeluti hobi baru: media sosial. Terutama YouTube. Ia rajin mengambil gambar video, mengedit dan mengunggahnya di sebuah kanal di YouTube. Dan sayalah yang mengusulkan nama kanalnya itu: Zette. Saya bilang, nama Zette keren. Terdengar seperti Zorro, Sara, IKEA, dan merek-merek ternama dunia. Padahal Zette diambil dari pengucapan inisial namanya: ZT. Zainal Tahir.
Ia rajin mengunggah video, dari kehidupan keluarganya, perjalanannya, perjalanan kami, ceramah agama, dll.
Saya tak pernah mengira, video-video yang diunggahnya akan secepat itu jadi dokumentasi kenangan yang akan dirindukan oleh saya, oleh anak-anaknya, oleh keluarganya, oleh kawan-kawan semua.
**
Begitulah. Saya bertemu dengannya terakhir kali, Senin 14 September lalu di kantor Dewan Masjid Indonesia di Jalan Jenggala. Kami duduk berseberangan meja, makan siang, juga sholat ashar bersama. Zainal menjadi imam, dan saya bersama Boy jadi makmumnya.
Dua hari lalu, kami masih berbicara lewat panggilan video. Ia duduk di atas dipan rumah sakit tempat ia dirawat.
Lalu, tengah malam tadi, kabar duka itu datang. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Terlalu banyak kenangan bersama Zette, sahabat saya yang baik hati. Selamat jalan. Semoga engkau mendapatkan tempat nan lapang di sisiNya.