Director Jamaica Moeslem Centre, New York, Amerika Serikat, Imam Shamsi Ali saat memberi keterangan dan orasi mengutuk kekerasan terhadap warga muslim Amerika. (Foto: Ist_menit)
menitindonesia, NEW YORK – Director Jaimaica Moeslem Centre, New York, Imam Shamsi Ali mengadakan konfrensi pers di halaman Gedung Jamaica Moeslem Centre, New York, Minggu (13/6/2021).
Didampingi beberapa pejabat kota, termasuk Calon Walikota New York terkuat Eric Adam, dan tokoh-tokoh agama/komunitas lainnya, Shamsi Ali mengutuk peristiwa pembantaian keluarga Salman Afzal, Muslim Kanada keturunan Pakistan, beberapa hari lalu.
Salman bersama istri dan keluarganya dibunuh oleh seorang terrorist White Supremacy di Toronto Kanada. Hanya putra sulung Salman yang berusia 9 tahun yang selamat.
“Kami memerangi kebencian (fighting the hate) dan rasisme di Amerika Utara dan Dunia Barat. Kami juga mengutuk kekerasan yang terjadi pada komunitas Muslim,” kata Imam Shamsi Ali di hadapan para peliput dari berbagai media mainstream di New York dan Amerika.
Imam Besar Mesjid Raya New York ini mengingatkan, memerangi Islamophobia bukan sekedar isu Komunitas Muslim, tapi isu kemanusiaan dan nilai Amerika (American value) yang sedang terusik.
“Kekhawatiran saya dengan kekerasan-kekerasan dan kebencian akhir-akhir ini tidak saja mengenai Komunitas Muslim. Tapi saya justeru khawatir jangan sampai wajah perjalanan bangsa ini (Amerika), dengan segala capaian yang membanggakan, justeru ditatat oleh sejarah sebagai bangsa pembenci dan rasis,” ujar Presiden Nusantara Foundation itu.
Dalam keterangan persnya, Imam Shamsi Ali juga menekankan, bahwa Amerika menjadi Amerika bukan karena kekuatan militernya (its military might) dan bukan pula karena kekuatan ekonominya. Menurut Shamsi Ali, karena Amerika memiliki nilai-nilai agung yang selalu dipertahankannya.
“Satu di antaranya adalah “compassion” (kasih sayang) Amerika untuk merangkul mereka yang dianggap orang lain (the others) untuk menjadi bagian dari ‘kita’ (we the people). Inilah yang disimbolkan oleh Lady Liberty di kota New York. Merangkul imigran dengan kasih sayang seraya memberikan kebebasan kepada mereka,” ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, New York menjadi kota terkuat dunia bukan karena Wall Street atau gedung-gedung pencakar langitnya. Tapi karena jembatan-jembatan (bridges) yang tidak saja menghubungkan antara bagian kota. Yang terpenting juga, kata dia, menghubungkan di antara penduduk atau manusiannya (connecting the people).
“Maka mari kita terus bangun dan perkuat jembatan itu. Hancurkan dinding-dinding (walls) yang memisahkan kita semua. Saya ingatkan kembali bahwa ketidak adilan kepada seseorang itu adalah ketidak adilan kepada semua. Dan Karenanya jangan merasa aman jika keburukan terjadi pada orang lain,” jelas Shamsi Ali.
Dia menambahkan, “My fight today can be yours tomorrow (perjuangan saya hari ini boleh jadi perjuanganmu di esok hari). Karenanya teruslah bangun kesatuan dan kerjasama melawan kebencian dan kekerasan kepada siapa saja!”
Selain itu, Shamsi Ali juga menyampaikan bahwa kejahatan hanya akan berkembang ketika orang-orang baik diam dan tidak melakukan apa-apa. Ia mengingatkan agar warga terus menyuarakan resistensi kepada setiap kebencian dan kekerasan di Amerika.
“Ingat, silence in front of an evil is complicit, diamnya kita di hadapan kejahatan itu boleh jadi justeru bagian dari kejahatan itu sendiri,” imbau Shamsi Ali.
Di akhir orasinya, Shamsi Ali berharap kepada warga New York yang sementara menggelar Pilkada, pemilihan walikota New York, agar memilih kandidat yang punya nurani,dan tidak melihat permasalahan masyarakat hanya dengan instink atau rasa politik.
“Kita menginginkan pemimpin yang mampu mengedepankan rasa kemanusiaan yang universal (common human sense) di atas kepentingan politiknya,” pungkasnya. (roma)