“SEKOLAH merupakan tempat belajar yang dikuasai negara, di tempat itu kaum muda diubah menjadi orang-orang yang tunduk pada kemauan pemerintah (state persons) dan karenanya mereka tak bisa menjadi apapun, selain sebagai antek-antek penguasa. Berjalan ke sekolah, tak ubahnya saya masuk ke dalam negara dan ketika negara menghancurkan rakyat, maka sekolah menjadi institusi untuk kehancuran anak-anak muda tersebut” (Thomas Bernhard, The Old Masters, 1989: 27) Pierre Bourdieu mengutip tesis genesis kepatuhan dari Bernhard untuk menunjukkan bagaimana anak-anak muda dihancurkan oleh negara. Namun itu terjadi pada sekolah yang melaksanakan pembelajaran secara langsung. Tidak seperti sekarang di masa pandemi ini. Ketika jarak antara sekolah dan kaum muda itu hanya dipagari oleh kuota yang dimiliki oleh murid-murid dalam sekolah daring.
Pernyataan Bernhard menurut Bourdieu disebut Retorika Idiosyncratic. Idiosyncratic merupakan ide dan perbuatan yang dianggap ganjil, tidak lazim, dan aneh di zamannya. Di tahun 1980-an sekolah diunggulkan sebagai sarana terbaik mencapai kemajuan apapun, lalu muncul pikiran Bernhard yang berbeda dengan siapa pun. “Retorika idiosyncratic Thomas Bernhard, salah satu yang berlebihan dan hiperbola dalam melakukan pengutukan, sangat cocok dengan niat saya, yaitu menundukkan negara dan pikiran negara dalam kesangsian hiperbolik (hyperbolic doubt).” Demikian Bourdieu yang sepakat dengannya, sebagaimana yang dijelaskan lebih mendalam pada “Rethinking the State: Genesis and Structure of the Bureaucratic Field” (Sociological Theory Vol. 12, No. 1, Maret 1994: 1-18).
Kedunguan Itu terjadi pada sekolah. Namun bila hal demikian terjadi pada perguruan tinggi, maka lengkap dan paripurnalah kepatuhan itu. Kini semakin sedikit akademisi yang mengolah ‘kesangsian hiperbolik’, apalagi mengembangkan ‘Retorika Idiosyncratic’ untuk membuat kesadaran masif dan massal pada mahasiswa. Bordieau sendiri menyebut adanya kepatuhan tak berdasar (doxic) dan kepatuhan tanpa syarat (doxic submission) sebagai dua hal utama dalam ketertundukan tersebut. Kepatuhan bagian kedua diambil Bourdieau dari David Hume (“On the first Principles of Government”, 1758). Ini berarti genesis kepatuhan sudah berlangsung sejak lama, tidak sekedar berasal dari sekolah.
Sekarang ini kepatuhan dibangun dengan kekerasan simbolik, kekerasan verbal, dan kekerasan daring, dari para buzzer berbayar dan buzzer gratisan. Sebab para buzzer ini diorganisir secara resmi oleh Sang Kakak Pembina, maka sebaiknya perlu ada Badan Buzzer Nasional (Babun). Mengapa disebut Babun?
Tersebutlah Wakanda—negeri ikonik dalam komik dan film Marvel¬—yang kini di medsos dijadikan sebagai sebutan olok-olok untuk Indonesia. Wakanda ini merupakan negeri yang segalanya meroket, hutan terjaga, juga polisi serta tentara membela rakyat. Jangankan TKA Cina, bahkan tak ada pesawat yang bisa menembus negeri itu, karena dilindungi oleh ghost shield yang terbuat dari teknologi berbasis vibranium.
Di Wakanda terdapat primata yang disebut Babun. Mereka ini yang menyusun kepatuhan dengan cara yang tak berbudaya dan biadab. Butuh banyak jembatan keledai untuk memahami produk kedunguan mereka. Demikian kuatnya bulu-bulu Babun ini, sehingga makin meniada akademisi yang berani menunjukkan ‘kesangsian hiperbolik’. Apalagi ketika para rektor telah ditundukkan sebagai komisaris. Sempurnalah menjadi Babun itu, sejak dari Ordo Primata Rektorat.