Intelektual Positif yang Berisolasi Mandiri

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)

Ostaf al Mustafa
PIERRE Bourdieau (1930-2002) memberi batasan defenitif pada mereka yang disebut intelektual. “Setelah menghadapi gagasan awal ini dan tampaknya negatif, saya bisa menegaskan bahwa kalangan intelektual (menurut saya bisa saja ditujukan pada seniman, penulis, dan ilmuwan yang terlibat dalam tindakan politik), mutlak diperlukan ke arah pertarungan sosial, terutama dewasa ini, mengingat cukup banyak bermunculan bentuk-bentuk baru dominasi.” (P. Bourdieau, Firing Back Against the Tyranny Market 2, 2000:20) Intelektual bisa siapa saja, asalkan bergiat dalam aksi politik dan menyertakan pikiran dan fisik ke arena tarung hadapi varian dominasi yang pasti berwujud tirani dasamuka.
Intelektual wajib memiliki daya sensitif secara sosial, bukan menerima keadaan begitu saja, karena kepentingan diri, organisasi dan kelompoknya telah disekutui oleh rezim. Intelektual menurut pemikir Prancis ini harus memenuhi diri dengan fungsi-fungsi negatif. Demikianlah di era pandemi ini perlu lebih banyak intelektual negatif, bukan yang positif lalu melakukan isolasi mandiri dari realitas sosial, hanya karena sudah satu garis dengan yang berkuasa.
Bourdieu menyerukan penciptaan bentuk intervensi baru: produsen pengetahuan yang disebut intelektual kolektif (collective intelectual) yang mampu memproduksi pengetahuan untuk mempengaruhi politik sebagai subjek otonom. dengan terlebih dahulu menegaskan independensi mereka sebagai suatu kelompok. (Pierre Bourdieu dan Loi’c J. D. Wacquan, An Invitation to Replexive Sociology, Polity Press dan Blackwell Publishers, 1992:57-58)
Terhadap mereka yang selalu berpandangan positif pada apa maunya penguasa, maka sebutannya bukan lagi intelektual. Mereka disebut pemikir atau kelompok elite reaksioner (reactionary think tank) yang selalu mendukung dan menyebarkan pandangan dari para ahli yang diangkat kalangan pihak berkuasa. Bourdieau juga menyebut adanya pemikir birokrat, yang direkrut birokrat untuk memberikan dukungan otoritas pseudoscientific, terhadap apa saja produk regulasi, norma yuridis, bahkan bualan-bualan lip service dari sang raja.
Intelektual Kolektif demikian frase untuk mereka yang negatif tersebut. Sebelumnya, Paul-Michel Foucault (1926-1984) menyebut adanya Intelektual Spesifik yang harus menghadapi Intelektual Universal. Malah pada masa yang lebih jauh terdapat Antonio Gramsci (1891-1957) yang juga menyerukan kekuatan intelektual. “Terdapat intelektual organik, elemen pemikiran dan pengorganisasian dari kelas sosial fundamental tertentu. Para intelektual organik ini agak sulit dibedakan berdasarkan profesinya, mungkin pekerjaan apa pun bisa merupakan karakteristik dari kelas mereka, tetapi keintelektualan itu karena fungsinya dalam mengarahkan gagasan dan aspirasi kelas tempat mereka secara organik berada.” (Gramsci, Selection from Prison Notebook, The Electric Book Company Ltd, 1999:131).
Gramsci memberi ruang bagi intelektual organik untuk memasuki partai politik. Suatu sikap permisif yang tak cocok dalam pemikiran Bourdieau,Faucault, bahkan juga Jean-Paul Sartre (1905-1980) dalam istilah Total Intelektual. “Kaum intelektual organik dari kelas pekerja di satu sisi ditentukan oleh peran mereka dalam produksi dan dalam organisasi kerja, dan di sisi lain oleh peran politik “arahan” mereka, yang difokuskan pada Partai” (Gramsci, 1999:132). Gramsci berkehendak agar intelektual organik yang mengarahkan partai, bukan menjadi marionette (boneka bertali) yang bergerak dan bicara karena dikendalikan menjadi intelektual yang positif dan tak merdeka di 76 tahun umur Indonesia ini.
Jakarta, 15 Agustus 2017