“MUNGKINKAH bangsa ini bangkit dari kebodohan, kecuekan dan ketakutannya? Sedikit orang memang sudah memperlihatkan keberaniannya. Sedikit.” Bila kalimat ini ditulis ulang di tembok-tembok oleh para muralis, maka tak akan bertahan hingga matahari terbit di dua pagi berbeda. Kala disalin di atas spanduk karton oleh seorang peternak, maka pesannya tak akan bertahan hingga beberapa tarikan nafas. Seseorang yang kebodohannya berputar di atas roda, akan merobeknya seketika itu juga. Kini dan juga seperti yang dulu-dulu sering terjadi, orang-orang akan dinyamankan dengan pembodohan, disemangati oleh kecuekan dan pada akhirnya merasa aman dengan mempertinggi ketakutan.
Reproduksi pendunguan semakin dipertinggi volumenya, secara sistematis dan terorganisasi. Selalu ada harga untuk mereka yang dipekerjakan demi disposisi pembodohan itu. Mereka yang terbeli untuk membodohi sesamanya, sering memiliki nafas pendek. Sebab bayaran yang diterima, tidak akan berberkah pada sekujur empal di tubuhnya. Bahkan segumpal daging yang berada di dekat jeroan lainnya, akan semakin digelapkan dalam kekelaman sanubarinya.
Mereka yang harus menyalakan satu titik api untuk mengurangi ketaksaan, seharusnya penyandang gelar beberapa huruf di depan atau belakang nama. Namun dalam beberapa kasus keberanian yang bergelora, justru para penyala obor yang tangguh, tidak lagi mereka yang berada di Dark Academia. Area yang minim pedagogi, tertuntun secara radikal hanya oleh buku-buku teks. Kampus tak lebih dari area untuk urusan pasar dan transaksi, tempat para mahasiswa menghabiskan uang. Universitas bukan lagi suaka, tempat perlindungan dari market discipline, tetapi justru di sanalah salah satu ekspresi sentralnya. (Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, Pluto Press, 2021: 84-85).
Kampus telah menerapkan market discipline, tak lebih dari transaksi yang terjadi di suatu pasar atau antara bank dengan debitur. Market discipline adalah kondisi dimana pasar keuangan memberikan signal kepada peminjam, dan berdasarkan signal pasar tersebut maka peminjam akan berperilaku sesuai dengan kemampuan keuangan mereka dalam melunasi hutang. (Timothy D Lane, “Can Market Forces Discipline Government Borrowing?”, Finance and Development, Maret 1993: 26-29). Bila sudah demikian kondisi universitas dengan disiplin pasarnya, maka sebelum universitas itu mati, sebagaimana ulasan Peter Fleming, maka para mahasiswa yang lebih dulu meregang nyawa. Tentu sambil menunggu satu per satu, para akademisi menuju sakaratul maut bersama-sama. Bila semua disatukan pada kuburan massal, lalu pada siapa berharap bebas dari kedunguan?
Apa yang terjadi ketika orang-orang bertopi persegi di universitas sudah berkalang tanah dan kampus merupakan pekuburan besar itu sendiri? Masih mungkinkah para pencari kecerahan, menerima ilmu dan pengetahuan, cukup dengan cara berlutut di depan batu nisan para profesor, doktor, master dan sarjana strata satu?
“Engkau bisa saja memberikan ribuan kecerdasan pada orang pandir, tetapi satu-satunya yang dia inginkan adalah milikmu.” Demikian kata pepatah Arab. (Paulo Coelho, Kitab Suci Ksatria Cahaya, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2017: 144). Tapi ketika mereka yang memiliki gelar akademis telah dimakamkan semua, siapa yang diharapkan berbagi satu, sepuluh atau ribuan kecerdasan?
Bila kembali ke kalimat awal di atas, yang berisi tentang kebodohan, kecuekan dan ketakutan. Sebenarnya itu tidak menggambarkan kondisi rezim sekarang. Seno Gumira Ajidarma menulisnya pada Minggu Kliwon 19 Juli 1998 (“Melawan Ketakutan”, entri dalam Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999, Kepustakaan Populer Gramedia, 2002:268-269.) Bila tiga kata itu kini terjadi bersamaan dengan adanya kecenderungan Dark Academia di Indonesia, maka tak ada yang baru di bawah mata rezim. Hanya perulangan yang harus diterima, sambil bersimpuh di depan jejeran jirat orang-orang yang terdidik itu.