Menanti Batu-Batu Berapi, Bertuliskan Nama-Nama Pembakar Rumah Allah

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
TIDAK bisa dikatakan bahwa mereka masih beragama atau bertuhan, ketika ratusan massa pembakar Rumah Allah melakukannya hanya demi membela gundukan-gundukan tanah bernisan. Padahal beberapa generasi sebelumnya, area pusara yang mereka puja dalam sesembahan, tidak lebih dari tumpukan-tumpukan tanah untuk menutup seonggok tahi asu. Seorang Frederich Nitzche yang sesumbar menyerukan kematian Tuhan, tidak pernah membayangkan moralitas terburuk para penganut agama politeisme di kalangan penyembah berhala, selain tentang, “Berapa banyakkah dewa yang wajib dikorbankan setiap saat? Ketika sebuah kuil peribadatan akan didirikan, maka rumah pemujaan dewa yang lain harus dihancurkan” (Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morality, Cambridge University Press, ISBN-13: 978-0-511-34967-6, 2006: 24). Ketiadaan moralitas yang dilakukan penganut agama politeisme selalu demikian. Namun seburuknya-buruk kelakuan mereka di era kuno tersebut, tidak pernah tertulis dalam sejarah bahwa demi mengagungkan kuburan keramat para pendeta tertinggi, harus membakar sebuah kuil penyembahan dewa.
Saat itu tidak ada jurisdiksi agama yang bisa menyalahkan kelakuan jahat purbawi itu. Ketika kini hal demikian juga terjadi, hukum tetap tidak diberlakukan kepada para pembakar Rumah Allah. Siapa yang sebenarnya yang moralitasnya sudah mati dan jauh lebih rendah daripada penyembah berhala tersebut? Sudut pandang dua dedengkot sosok komunis yakni Karl Marx dan Friederich Engels dalam Manifesto Komunis (1955) bisa menjadi pertimbangan untuk memahami kejahatan massif yang berapi-api tersebut.
Dalam negara komunis, kejahatan dan penistaan terhadap agama juga Tuhan, tidak akan pernah dijatuhi hukum dan sanksi. Meski belum resmi sebagai negara demikian, namun bagi mereka, agama dan Rumah Allah harus menjadi target yang harus dihancurkan. Keduanya berkata, “Tidak diragukan lagi, meski masih bisa terbuka kemungkinan untuk diperdebatkan tentang gagasan agama, moral, filosofis, dan yuridis yang telah dimodifikasi tersebut demi menyesuaikan dengan jalannya perkembangan sejarah. Namun agama, moralitas, filsafat, ilmu politik, dan hukum, terus-menerus mampu bertahan, sehingga bisa melampaui perubahan historis ini.” (Karl Marx dan Friederich Engels, The Communist Manifesto: with selections from The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte and Capital, Appleton-Century-Croffs, Inc, New York, 1955:30)
Dibandingkan dengan dua biang radikalisme komunisme tersebut, Nietzsche masih mengakui pentingnya moralitas dan memandang sangat rendah kepada mereka yang membakar dan meruntuhkan rumah peribadatan orang-orang yang memuja dewa yang berbeda. Karl Marx dan Friederich Engels kemudian melanjutkan pandangannya tentang agama. “Selain semua hal yang terkait dengan alur sejarah tersebut dan yang mampu bertahan dalam putaran perkembangan zaman tersebut, terdapat pula kebenaran abadi, seperti Kebebasan, Keadilan, dan lain-lain, yang umum terjadi bagi semua keadaan dalam masyarakat. Tetapi komunisme menghapuskan kebenaran-kebenaran abadi dan melenyapkan semua agama dan segenap moralitas, alih-alih menyusunnya kembali di atas dasar ajaran baru; karena dengan maksud untuk melenyapkan moralitas dan agama, maka komunisme ini harus bertindak bertentangan dengan semua pengalaman sejarah warisan masa lalu tersebut.” Agama dan moralitas dianggap hanya sebagai sesuatu yang lampau, meski tidak ahistoris.
Pembakar Rumah Allah dan yang bersekutu dengan mereka, jauh lebih buruk kejahataanya daripada seorang ateis radikal. Nietsche sendiri takpernah bisa membayangkan dalam sejarah ummat manusia, betapa rumah peribadatan dibakar demi pemujaan pada kuburan keramat seorang rahib. Hanya orang-orang psikotik komunis yang mampu melakukannya, sebagaimana yang disarankan dalam Manifesto Komunis.
Dalam operasi militer yang dijalankan Abrahah Al Asyram  untuk menghancurkan Rumah Allah di Makkah, terdapat manusia terkutuk yang disebut Abu Righal. Dia yang memandu panglima perang Romawi dari Habasyah tersebut untuk misi penghancuran. Sejarah mengenang dirinya sebagai seburuk-buruknya manusia. Kuburannya yang terletak di al-Mughammis kemudian sering dilempari orang-orang Arab (Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Tabari, et al., The History of al-Tabari, The State University of New York Press, 1999: 223). Secara ambigu ada juga nama serupa sebagai manusia paling terkutuk lainnya. Ia dari Bangsa Tsamud, yang mati di luar area Haram Makkah.
Kini apakah para pemuja sepultura itu akan bernasib seperti Abu Righal juga? Jika perbuatan mereka memang benar-benar terkutuk, seperti tindakan yang disetujui Marx dan Engels, apakah mungkin dari batu-batu masjid yang membara itu akan tertulis nama-nama para durjana tersebut? Lalu pada suatu hari, ada di antara para cecunguk tersebut yang bernasib seperti Abu Righal yakni sebuah batu yang menyala-nyala kemudian menembus batok kepala mereka yang tak berotak sadar.
Masih mungkin untuk menunggu beberapa atau puluhan tahun kemudian, kala para psikopat pembakar Rumah Allah bisa merasakan panasnya sebuah batu yang meretakkan tulang tengkorak. Jika takada orang yang berkunjung ke kubur mereka, semoga anjing gila akan menjadikannya tempat membuang feses najis. Hukuman yang harus melebihi akhir buruk dari riwayat tercela Abu Righal.
Jakarta, 5 Pebruari 2022