Presiden Jokowi bersama Menhan Prabowo Subianto. Keduanya tertawa terbahak-bahak di Istana Kepresiden, Jakarta. (ist)
menitindonesia, MAKASSAR – Peneliti Yayasan Lembaga Kajian Pembangunan (LKP) Muhammad Asrul Nurdin, S.Pd, menyoroti langkah “zig-zag” politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, mendatang.
Menurut Muhammad Asrul, belakangan ini Jokowi santer memamerkan kemesraan hubungannya dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, seolah-olah menjadi sinyal jika Jokowi lebih menaruh dukungannya ke Prabowo ketimbang Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, capres yang diusung PDI-Perjuangan.
“Inilah anomali dalam politik Jokowi. Dulu yang pertama usung dia capres tahun 2014 adalah NasDem pimpinan Surya Paloh. Lalu nyusul PDIP Mega. Lawannya kan Prabowo ya. Nah sekarang lain cerita, NasDem out, Surya Paloh ikuti Anies jadi oposisi. Megawati yang mentor Jokowi, lebih banyak beromantisme mengenang masa Bung karno. Justru Luhut bersama Prabowo yang dipercaya Jokowi dalam urusan kekuasaan di Istana,” kata Muhammad Asrul saat dimintai komentarnya di Makassar, Selasa (11/7/2023).
Meski Mega masih punya pengaruh kuat di PDIP, Muhammad Asrul menilai Mega sangat lengah dalam mengontrol setiap langkah politik Jokowi. “Sehingga Jokowi bermetamorfosis menjadi king maker utama pilpres, bukan Mega. Hampir semua ketum partai menunggu arahan Jokowi, termasuk dalam menentukan siapa capres dan siapa cawapres mereka,” ujarnya.
Yang pasti, kata Asrul, sekarang Prabowo Subianto sangat percaya diri di Pilpres 2024 mendatang, karena dia merasa memiliki garansi dukungan dari Jokowi sejak menjadi sekutu Jokowi pasca Pilpres 2019.
Diketahui, Prabowo dua kali menjadi rivalitas Jokowi, dan kalah di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019. Namun, setelah Pilpres 2019, Prabowo bersama partainya masuk dalam koalisi Presiden Jokowi. Ia dilantik sebagai Menteri Pertahanan RI dan kadernya Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Tak hanya dengan Jokowi, ujar Asrul, hubungan Prabowo dengan Luhut Panjaitan juga terlihat semakin mesra. “Di sinilah kelemahan PDIP, dia tidak punya kekuatan penetrasi ke Istana. kader PDIP, Pramono Anung, sebagai menteri sekretaris kabinet, urusannya cuma atur-atur jadwal sidang kabinet saja,” ujarnya.
Selama periode kedua Jokowi ini, menurut Asrul, pemerintahan Jokowi lebih banyak dipengaruhi Luhut Panjaitan dan Prabowo, bukan oleh PDIP. Kader PDIP di Kabinet Pramono Anung dinilai minim peran. “Jauh lebih kuat pengaruh Adian Napitupulu ke Jokowi daripada Pramono Anung. Jadi memang PDIP tumpul di Istana. Sama Luhut saja mereka keok,” ucapnya.
Selain itu, Muhammad Asrul juga mencatat, dalam sebulan ini, Jokowi intens melakukan pertemuan empat mata dengan Prabowo. Begitu juga Prabowo, setiap berpidato, selalu memuji kepemimpinan Presiden Jokowi sebagai presiden yang paling berhasil menyelamatkan Indonesia dari berbagai ancaman krisis. “Jadi sudah sangat jelas, kerjasama politik Jokowi-Prabowo semakin erat terjalin,” ucapnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto membantah jika ada yang menyebutkan dukungan Jokowi di Pilpres lebih condong ke Prabowo. Menurut dia, Jokowi adalah kader PDI-P, sehingga langkah Jokowi sejalan dengan PDI-P, mendukung Ganjar Pranowo sebagai capres.
“Itu hanya framing yang dibuat pihak lain, yang benar bahwa PDIP menganggap Ganjar sebagai sosok capres penerus Jokowi. Jadi dukungan Jokowi di Pilpres hanya untuk Ganjar Pranowo. Sangat clear, Pak Ganjar adalah kesinambungan kepemimpinan Presiden Jokowi,” pungkas dia. (AE)