menitindonesia, JAKARTA – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menghadirkan babak baru dalam skandal korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah. Majelis hakim menjatuhkan vonis 6 tahun 6 bulan penjara terhadap pengusaha Harvey Moeis, meskipun negara dirugikan sebesar Rp 300 triliun akibat praktik ini. Putusan ini menuai sorotan karena jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara.
Hakim ketua Eko Aryanto dalam amar putusannya menjelaskan alasan pengurangan hukuman tersebut. Menurutnya, Harvey tidak memiliki peran besar dalam pengelolaan kerja sama antara PT Timah Tbk dan PT Refined Bangka Tin (RBT).
“Majelis hakim mempertimbangkan tuntutan 12 tahun terlalu berat jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologi perkara itu,” ujar hakim Eko di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12).
Harvey disebutkan hanya berperan mewakili PT RBT dalam pertemuan dengan PT Timah Tbk. Ia bukan pemilik, pengurus, ataupun pemegang saham di PT RBT. Pengusaha ini mengaku hanya membantu Suparta, Direktur Utama PT RBT, dalam kerja sama tersebut.
“Terdakwa bukan pembuat keputusan kerja sama antara PT Timah Tbk dan PT RBT serta tidak mengetahui administrasi maupun keuangan keduanya,” tegas hakim Eko.
Hakim juga menekankan bahwa PT Timah dan PT RBT adalah perusahaan legal dengan izin usaha lengkap. Kerusakan lingkungan dan aktivitas tambang ilegal yang berkontribusi pada kerugian negara justru melibatkan ribuan masyarakat lokal sebagai penambang ilegal.
Kerugian Negara: Rp 300 Triliun
Kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. Berikut rincian yang dipaparkan hakim, yakni penyewaan alat processing timah tidak sesuai ketentuan: Rp 2,2 triliun, pembelian bijih timah dari tambang ilegal: Rp 26,6 triliun, dan kerusakan lingkungan akibat tambang ilegal: Rp 271 triliun.
Namun, hakim menyebut kerugian ini tidak sepenuhnya akibat perbuatan Harvey Moeis, melainkan hasil gabungan dari tindakan beberapa terdakwa lain.
Vonis dan Banding Jaksa
Selain hukuman penjara, Harvey diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar atau diganti kurungan 6 bulan. Ia juga diwajibkan mengganti uang negara senilai Rp 210 miliar. Bila tidak dibayar, hartanya akan disita untuk dilelang, dan jika masih kurang, diganti hukuman penjara tambahan 2 tahun.
Namun, jaksa mengajukan banding atas putusan ini. Mereka menilai hukuman terhadap Harvey terlalu ringan dibandingkan dampak besar yang dirasakan masyarakat Bangka Belitung akibat kerusakan lingkungan dan korupsi tata niaga timah.
“Putusan ini terlalu ringan khususnya untuk pidana badannya. Hakim tampaknya lebih fokus pada peran individu para pelaku, tapi kurang mempertimbangkan dampak luas yang ditimbulkan,” ujar Direktur Penuntutan pada Jampidsus, Sutikno.
Polemik Peran dan Hukuman
Kasus ini menyisakan tanda tanya besar di masyarakat: apakah vonis 6,5 tahun cukup adil untuk kerugian negara yang begitu besar? Ataukah benar, seperti argumen hakim, Harvey Moeis hanyalah pion kecil dalam permainan besar korupsi timah? Sementara itu, desakan terhadap transparansi hukum terus menggema, menantang sistem peradilan untuk menimbang kembali makna keadilan bagi negara dan rakyat.