menitindonesia – PENGHAPUSAN presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2/1/2025) menjadi momen bersejarah dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Keputusan ini tidak hanya mengubah lanskap politik nasional, tetapi juga membawa harapan akan terciptanya kompetisi yang lebih sehat, terbuka, dan inklusif dalam pemilihan pemimpin bangsa.
Selama lebih dari dua dekade, presidential threshold telah menjadi penghalang bagi partai-partai kecil dan kandidat independen untuk maju dalam pemilihan presiden. Aturan ini mewajibkan partai atau koalisi partai memperoleh minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Konsekuensinya, kekuatan politik terkonsentrasi pada segelintir partai besar, mempersempit pilihan rakyat dan memperkuat dominasi oligarki politik.
Namun, keputusan MK yang membatalkan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kini membuka peluang baru. Keputusan ini sejalan dengan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa pencalonan pimpinan negara tidak memiliki batasan.
Akhir dari Politik Oligarki?
Penghapusan presidential threshold memberikan secercah harapan akan berakhirnya dominasi oligarki politik. Selama ini, banyak kritik yang menyebut bahwa aturan threshold telah mempersempit ruang demokrasi dan membatasi kompetisi politik. Dengan penghapusan ini, partai-partai kecil kini memiliki kesempatan yang sama untuk mengajukan calon pemimpin, tanpa harus tunduk pada kekuatan politik besar.
Keputusan ini juga diyakini akan mendorong partisipasi masyarakat dalam politik. Rakyat kini memiliki lebih banyak alternatif untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan aspirasi mereka. Tidak lagi terbatas pada dua atau tiga kandidat dari partai besar, pemilu 2029 mungkin akan menjadi arena persaingan yang lebih kompetitif, dengan kandidat yang lebih beragam.
Namun, harapan ini tidak serta-merta menjamin perubahan instan. Tantangan besar tetap ada, seperti memastikan bahwa partai-partai kecil memiliki kapasitas untuk mencalonkan kandidat yang kompeten dan mampu bersaing secara sehat.
Dampak Jangka Panjang bagi Demokrasi
Penghapusan presidential threshold juga membawa implikasi jangka panjang bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Keputusan ini memungkinkan rakyat untuk benar-benar menjadi penentu arah politik bangsa, tanpa intervensi berlebihan dari elite politik.
Lebih dari itu, ini juga menjadi momen refleksi bagi partai politik. Dengan meningkatnya kompetisi, partai-partai harus bekerja lebih keras untuk membangun kepercayaan publik, memperkuat program, dan menghadirkan kandidat yang memiliki integritas dan visi jelas.
Tantangan yang Harus Dihadapi
Meski terlihat menjanjikan, keputusan ini juga menimbulkan tantangan baru. Misalnya, potensi fragmentasi suara yang dapat memperumit proses pemilu dan meningkatkan risiko instabilitas politik. Selain itu, tanpa threshold, partai-partai kecil mungkin hanya berorientasi pada pencalonan simbolis tanpa visi yang jelas, yang pada akhirnya merugikan demokrasi itu sendiri.
Namun, tantangan ini bukanlah alasan untuk mempertahankan sistem lama yang terbukti membatasi aspirasi politik rakyat. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk memperkuat pendidikan politik, reformasi partai, dan memperbaiki sistem pemilu secara keseluruhan.