AHY Vs Moeldoko, Prahara  Demokrat, Prahara Demokrasi

Pimpinan Redaksi Menit Indonesa (menitindonesia.com)

 

Andi Besse Nabila Saskia 
Pimpinan Redaksi Menit Indonesia (menitindonesia.com)
PRIHATIN, kesal dan marah. Tapi politik tak boleh diselesaikan dengan amarah. Politik harus diolah dengan tenang agar setiap masalah yang dihadapi, berakhir menghasilkan kekuatan dan menghadirkan ruang yang lebih demokratis yang lebih memotivasi untuk berbuat lebih baik lagi.
Perdebatan sengit soal Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sibolangi, Dili Serdang, Sumatera Utara, Jumat (5/3) pekan lalu, diselenggarakan dan menetapkan Kepala Staf Presiden Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai Ketua Umum menggantikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
“Kami Partai Demokrat berkabung, akal sehat telah mati. Keadilan, supremasi hukum dan demokrasi sedang diuji,” kata SBY, jelang tengah malam melalui unggahan di live video akun Facebook Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Jumat malam, pekan lalu.
Awalnya, KLB Dili Serdang itu, digagas Jhoni Allen dan Nazaruddin (eks terpidana korupsi) Hambalang yang telah memorak-porandakan kredibilitas Partai Demokrat di era kepemimpinan Ketua Umum Anas Urbaningrum. Saya mereviuw ingatan dari tontonan di berbagai konten Youtube tentang Partai Demokrat dan juga cerita dari kader yang sempat saya dengar.

Biang Kerok itu Bernama Nazaruddin

Nazaruddin adalah sohib karib Jhoni Allen. Bergabung di Partai Demokrat karena diajak oleh Jhoni Allen. Pada Kongres Partai Demokrat tahun 2010, Jhoni Allen dan Nazaruddin menjadi Tim Sukses pemenangan Anas Urbaningrum saat berkompetisi melawan Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng.
Nazaruddin menjadi tukang bagi duit untuk menggalang DPC-DPC. Ia dibantu oleh salah satu sejawatnya, Angelina Sondakh, Anggota Fraksi Demokrat di DPR RI. Saat itu Nazar, Jhoni Allen dan Anas, sama-sama menjabat Anggota DPR Ri dari Fraksi Demokrat.
Singkat cerita, dalam Kongres III Partai Demokrat di Padalarang Bandung tahun 2010, pemilihan ketua umum dimenangkan oleh Anas setelah berhasil menumbangkan rivalnya, Marzuki dan Andi Mallarangeng. SBY, memberinya ucapan selamat. Anas Urbaningrum sah memimpin Demokrat dan mengangkat Nazaruddin sebagai Bendahara Umum. Salah satu polit biro Anas di lingkaran DPP saat itu adalah Jhoni Allen.
Tak ada riak. Anas Urbaningrum dalam usia 41 tahun menjadi Ketua Umum partai pemenang pemilu 2009 dengan torehan suara 20,85% dengan totol 148 kursi di DPR RI.
Pasca Kongres Bandung, Anas mundur dari DPR RI dan sekaligus melepas jabatan Ketua Fraksi yang dipegangnya. Ia fokus mengurus Partai Demokrat. Marzuki Alie juga kembali melaksanakan tugasnya sebagai Ketua DPR RI Periode 2009-2014. Andi Mallarangeng pun menerima kekalahan secara gentle dan memberikan ucapan selamat atas kemenangan Anas. Andi lalu fokus melaksanakan tugas sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga (Menpora) dalam kabinet SBY-JK.
Di saat Demokrat dirawat oleh Anas Urbaningrum untuk menguatkan struktur mesin politik, tiba-tiba datang prahara akibat ulah Nazaruddin yang berpraktik broker anggaran APBN dan memainkan proyek-proyek dengan cara-cara ilegal melalui kewenangannya sebagai anggota Badan Anggaran DPR RI.
Nazaruddin lalu ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka sejumlah proyek bermasalah, yakni Wisma Atlit dan Hambalang.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka Kasus Wisma Atlet dan Kasus Hambalang oleh KPK, Nazar menemui Presiden SBY di Cikeas, meminta SBY melakukan intervensi hukum agar kasus yang dihadapinya di KPK tidak berlanjut. SBY marah-marah disuruh mengintervensi hukum, dan dia menggebrak meja di depan Nazaruddin.

Prahara Korupsi

Aling-aling dibantu untuk lolos dari jeratan hukum, malah justru dipecat dari partai sehingga membuat Nazar melarikan diri ke Luar Negeri. Ia bersembunyi di Kolumbia. SBY meminta Ketua KPK mempercepat pengejaran buronan tersebut dan segera memprosesnya secara hukum dan seadil-adilnya.
Ketua KPK, Abraham Samad, tanpa tedeng alng-aling mengejar Nazar dan berhasil menangkapnya. Setelah diperiksa di KPK, Nazar menjadi justice kolaborator. Ia mengakui melakukan pembegalan APBN tak sendirian. Ia menyeret beberapa koleganya di DPR RI, termasuk Angelina Sondakh dan Anas.
Ia kecewa dengan Anas karena Anas sebagai ketua umum, tidak mau mendesak SBY agar menekan KPK. Justru sebaliknya, Anas memilih sikap membiarkan SBY cuek terhadap kasus korupsi yang dihadapinya.
“Anaslah yang menerima fee dari proyek wisma atlet dan hambalang. Fee itu diserahkan kepada Anas untuk dipakai memenangkan Kongres Partai Demokrat di Bandung. Sebahagian fee itu, diminta melalui Anggie dan dibagikan kepada peserta kongres,” beber Nazar ketika itu.
Anggelina Sondakh (Anggie) dipanggil oleh KPK untuk diperiksa, dan kemudian ditetapkan tersangka lalu ditahan. Karier politik Anggie tammat.
Jelang Pemilu 2014, Anggie, Anas dan Andi Mallarangeng terseret dan menjadi tahanan KPK bersama Nazaruddin. Indonesia heboh. Partai Demokrat kehilangan pamor, dan elektabilitasnya anjlok.
Andi Mallarangeng, meskipun tidak terlibat pada kasus yang melilit Nazaruddin dan Anas itu, akhirnya dia harus mempertanggungjawabkan ulah kader demokrat karena kasus tersebut dilakukan di Kemenpora.
Andi Mallarangeng mundur dari jabatannya sebagai Menpora dan menjalani proses hukum. Andi dihukum bukan karena melakukan korupsi, tetapi dihukum selaku pengambil kebijakan yang mana kebijaknnya itu menguntungkan Nazaruddin dkk.
Upaya Anas menjadikan Partai Demokrat sebagai partai modern, seketika hancur. Demokrat terperosok dan dibully. Survei merekam elektabilitas Demokrat jatuh ke angka 4 % saja.
Kader Demokrat meminta SBY turun gunung. Akhirnya setelah Anas mundur sebagai Ketua Umum sebelum ditahan KPK, Demokrat menggelar Kongres Luar Biasa di Bali pada tahun 2013 dan menetapkan SBY sebagai Ketua Umum menyelesaikan tugas Anas.
Yang perlu dicatat, KLB yang menetapkan SBY sebagai ketua umum digelar setelah Anas Urbaningrum mengumumkan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, karena Anas ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Bukan kudeta!
Dalam situasi partai yang terpuruk, SBY bersama Ibu Ani Yudhoyono (almarhumah) keliling nusantara, blusukan ke seluruh Indonesia. Ia tertatih-tatih mengangkat kembali citra partai dan elektabilitas demokrat yang jatuh dari angka 20% ke angka 4% saja.
Hasilnya, Pemilu 2014, Partai Demokrat meraih suara 10%. Demokrat tetap masuk dalam lima besar partai peraih suara tertinggi di Pemilu. Jhoni Allen dan Marzuki Alie gagal lolos di Pemilu 2014.
Di Pemilu 2019, Jhoni kembali terpilih mewakili Dili Serdang, Marzuki jeda nyaleg dan memilih jadi setengah ulama setengah akademisi dan setengah politisi–tanpa jabatan di Partai.
Setelah menjalani hukuman bertahun-tahun di Lapas Sukamiskin, Nazar kemudian bebas dan kembali bertemu Jhoni Allen. Partai Demokrat diincarnya kembali untuk “dijual” kepada elemen kekuasaan. Nazar menunggangi Moeldoko untuk digadang-gadang nyapres di 2024.
Di sinilah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko terpengaruh. Ia dimanfaatkan oleh Nazaruddin dan Jhoni Allen, dengan iming-iming Nazar dan Johni mampu menurunkan AHY karena keduanya punya pengalaman mengalahkan SBY di Kongres Bandung.
Hasilnya, adalah KLB abal-abal digelar di Dili Serdang, dan justru merusak wibawa dan citra Moeldoko pasca ditetapkan sebagai Ketum versi KLB.
Dua mantan panglima TNI pun terang-terangan mengecamnya dan menilai KLB Dili Serdang itu tidak pantas dilakukan oleh seorang jenderal yang tahu tata krama dan etika. Menurut Gatot Nurmantyo (mantan Panglima TNI), saat dirinya ditawari mengudeta AHY, ia menolak karena ia memiliki standart moral dan etika.
Hal sama juga disampaikan oleh Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto, bahwa ia sangat prihatin dengan KSP Moeldoko yang diseret-seret oleh politisi busuk yang sungguh–tanpa disadarinya–merusak integritas dan karakternya.
Bahkan, Djoko Suyanto menganggap hal tersebut akan menjadi contoh buruk bagi perwira dan prajurit TNI yang masih aktif.

Solusi Jalan Damai

Moeldoko, masih punya kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia adalah seorang kesatria sejati. KLB ini, apapun namanya telah terlanjur digelar dan telah menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum versi KLB Dili Serdang, meskipun dianggap abal-abal karena tidak sesuai dengan mekanisme AD/ART Partai Demokrat yang sah.
Konflik dualisme ini harus selesai dengan elegan: duduk bersama antara Moeldoko, AHY dan di situ juga hadir Ketua Majelis Tinggi Partai, SBY. Kubu KLB dan AHY harus bertemu. Moeldoko meminta maaf kepada seniornya, SBY yang telah mengangkatnya sebagai KASAD dan Panglima TNI ketika menjabat presiden dulu.
Dengan minta maaf, Moeldoko akan menjadi kesatria dan Jenderal yang mulia. Islam mengajarkan, meminta maaf jauh lebih mulia daripada memberi maaf.
Setelah meminta maaf, Moeldoko diterima menjadi kader dan Anggota Partai Demokrat serta dimasukkan dalam kepengurusan. Atau Moeldoko melakukan metamorfosis politik, dari KLB Dili Serdang, lahirlah Partai Demokrat Perjuangan, sebuah partai baru.
Nah. Apakah seorang Moeldoko memiiki jiwa kesatria, mau meinta maaf dan bersedia bergabung bersama SBY-AHY membesarkan Partai Demokrat yang katanya dicintainya, atau sekaligus membentuk partai baru? Semunya akan kembali pada standart moral dan etikanya.
Begitu pula, apakah SBY-AHY dan kubu DPP Partai Demokrat memliki kebesaran jiwa menerima dan memaafkan kubu KLB jika mereka menempuh cara-cara kesatria: meminta maaf dan menawarkan islah serta siap bekerjasama membesarkan Partai Demokrat?
AHY sudah menyampaikan, bahwa antara dirinya dan Moeldoko tidak pernah ada masalah. Namun atas peristiwa KLB yang melibatkan Moeldoko, sebagai manusia biasa, AHY mengaku kecewa. Namun, ia tetap membuka pintu maaf jika kubu KLB mau minta maaf.
Lantas jika kedua kubu ini islah, siapa yang menjadi Capres 2024 nanti? Ini bukan persoalan pelik bagi Partai Demokrat. Kalau memang Moeldoko berkeinginan menjadi Capres, Demokrat punya mekanisme konvensi yang demokratis untuk menentukan siapa calon presiden ke depan: Bertarung lewat konvensi.
Konvensi Capres ini pernah dilakukan pada Pilpres 2015, meskipun hasil akhirnya Demokrat memilih netral di Pilpres dan membiarkan kadernya memilih Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta. Tidak ada kader  yang dipecat karena beda pilihan di Pilpres.
Prahara Demokrasi yang terjadi di Demokrat saat ini, membuat dua nama mencuat. Yakni, nama Ketum Partai Demokrat AHY yang banyak meraih simpatik publik dan nama Ketum Partai Demokrat versi KLB abal-abal Dr. H. Moeldoko sendiri yang banyak menuai kecaman.
Moeldoko dikecam dua mantan panglima TNI (Gatot dan Djoko). Mantan Menkumham– pemrakarasa perdamaian Aceh di Helsinki–Prof Hamid Awaluddin juga ikut mengecamnya. Semuanya menyangsikan jiwa kesatria seorang Moeldoko yang pernah menjadi Panglima Tentara.
Begitulah. Prahara tak mesti berakhir dengan saling mencaci maki. Prahara Demokrasi bisa selesai lewat “obrolan meja bundar” sambil ngopi-ngopi. Bukankah damai itu indah dan islah itu ibadah?
Politik memang unik, kawan bisa jadi lawan, dan lawan bisa jadi kawan. Karena itu, sebaiknya politisi jangan salah memilih lawan dan jangan salah memilih kawan.