Intelektual Kolektif Serukan Ujarmu!

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)


Ostaf Al Mustafa
mantan anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
LIDAH kedap, muka menghadap lantai, dan memaku telapak tangan di kedua siku merupakan trilogi bahasa tubuh pada suatu bangsa yang dikitari ketakutan dan diimbuhi kedunguan berlipat-lipat. Genesis heroisme tercerabut sejak dari serabut akar dan kerontang pada daun-daun mudanya. “Masih adakah yang lebih mengecutkan hati selain mengalami baal pada sensasi perlawanan?” Bila ini bukan pertanyaan yang keliru, maka bukan jawaban salah bila menyahut, “Tidak, itulah hidup yang berkesudahan dengan sekaratnya resistensi!”
Pada mereka yang terbilang masih hidup dengan trilogi semacam itu, maka insubordinasi akan dianggap suatu kejahatan. Mereka akan setuju mengkriminalisasi para pembangkang, karena dianggap bukan bagian dari sosialita para pengangkat bendera putih.
Adakah pengecualian dari kaum yang merebahkan tubuh dengan kredo berserah diri pada rezim otoritarian itu? Pierre Bourdieau (1930-2002) memberikan kontribusinya dengan menyebutkan adanya Intelektual Kolektif. “Intelektual sejati ditentukan oleh kemandiriannya terhadap pengaruh kekuatan duniawi, serta dari campur tangan otoritas ekonomi dan politik.” Ciri khasnya tidak ruwet, hanya sedikit yakni, “otonom namun berkomitmen; terlibat namun tidak tunduk pada kriteria politik ortodoksi” (P. Bourdieu dan Loi’c J.D. Wacquan, 1992, h. 56-57). Di mana Intelektual Kolektif tersebut bersemayam? Yang pasti tidak di kampus, tempat para gajah menjulurkan belalai dan menumpuk-numpuk gading para profesor yang terlena sebagai Tuan Mulia yang Maha Terpelajar.
“Adanya intervensi baru terhadap intelektual yang melayani pihak dominan dan para profesor di menara gading, lalu membentuk Intelektual Kolektif sebagai produsen pengetahuan yang memengaruhi politik sebagai subjek otonom, dengan terlebih dahulu menegaskan kemerdekaan mereka sebagai sebuah kelompok” (P. Bourdieu dan Loi’c J.D. Wacquant, 1992, h. 58). Syarat dan ketentuan untuk menjadi Intelektual Kolektif bukan dengan gelar akademis, tapi apakah masih memiliki kemerdekaan dan tidak dikerangkeng oleh hasrat berhamba pada rezim ‘halusinasional’. Siapa saja bisa berkolaborasi dan berpartisipasi dalam Intelektual Kolektif yakni seniman, pelajar, budayawan, mahasiswa, politisi, agamawan, dan sebagainya. Tak ada pembatasan untuk bergabung dan tak perlu kantor pusat sebagai sentra giat pengorganisasian. Semua tempat bisa diekstrasi menjadi arena tarung yang bersimbah merah.
Area perguruan tinggi bukan arena tarung untuk Intelektual Kolektif. Apalagi Bourdieau lebih lanjut memastikan agar Intelektual Kolektif memenuhi fungsi negatif: harus bekerja untuk memproduksi dan mendiseminasi instrumen pertahanan untuk melawan dominasi simbolik yang mengandalkan peningkatan otoritas ilmiah, baik yang nyata atau dipalsukan. (P. Bourdieau , 2000, h. 20). Bourdieau menunjukkan salah satu lawan utama Intelektual Kolektif yakni Pemikir Birokrat. Mereka yang dipastikan menjadi tameng pentolan pejabat untuk para pemburu rente serta membuat naskah akademik demi perundang-perundangan dan peraturan yang menjahati rakyat.
Demikianlah hingga Intelektual Kolektif menyerukan ujaran untuk pembentukan satu mazhab pembangkangan sosial berskala besar. Kekuatan kolektif yang intelek itu, perlu memulai gerakan dengan membuat penyadaran pada orang-orang yang berlidah kedap, muka menghadap lantai, dan memaku telapak tangan di kedua siku.
Jakarta, 9 Juni 2021