Meniada Kapital, Mau Apa di Kuasa Kali Ketiga?

Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)


Ostaf Al Mustafa
Mantan Anggota Aliansi Mahasiswa Pro Demokrasi (AMPD)
PIERRE BOURDIEAU, setidaknya memberikan empat jenis kapital utama untuk sosok yang ingin menunjukkan diri menjadi ‘sesuatu’ dibandingkan semua orang. Kapital Ekonomi, Kapital Kultural, kapital Simbolik, dan Kapital Sosial, demikianlah modal yang tidak semua terkumpul pada satu orang. Bila ada yang memiliki dua kapital tersebut, maka kadang sudah lebih dari cukup untuk digunakan seluas-luasnya, bahkan bisa dipertukarkan. Kapital Simbolik juga Kapital Sosial bisa masuk ke ranah akademisi, sebagaimana Megawati Soekarno Putri (MSP) mendapatkan gelar doktor dan professor, tanpa perlu duduk manis membuka ribuan halaman buku teks. Karena itu hanya sekedar pertukaran, maka MSP sebenarnya tak butuh pseudo gelar-gelar itu. Mengeritik Megawati karena mendapat gelar professor, tidak akan membuat para professor birokrat yang menjadi pengeritiknya mendapatkan kapital yang serupa. Lagi pula Megawati memiliki empat kapital itu. Terserah ia bagaimana dipertukarkan dengan hal yang lebih rendah.
“Kapital Simbolik memungkinkan bentuk-bentuk dominasi yang menyiratkan ketergantungan pada mereka yang dapat didominasi olehnya, sejak itu seseorang hanya bisa merasa ada atau eksis semata-mata melalui penghormatan, rekognisi, kepercayaan, reputasi, dan konfidensi melebihi orang lain, dan hal-hal demikian hanya dapat dilanggengkan sepanjang ia berhasil mendapatkan keyakinan akan eksistensinya” (P. Bourdieau, 1997: 166). Bourdieau mengingatkan bahaya kuasa dari pemilik Kapital Simbolik, meski tak selalu terjadi yang buruk.
Kapital Simbolik ini melekat pada seseorang karena kelahiran atau pada nama keluarga yang terbawa pada identitasnya. Dua sosok yang memiliki kapital ini yakni Abdurrahman Wahid dan MSP. Sosok yang lebih diakrabi dengan sebutan Gus Dur itu memiliki ayah seorang ulama, pendiri NU dan pahlawan nasional. MSP merupakan putri pahlawan nasional, Bapak Pendiri Bangsa dan Presiden Pertama RI. Mereka yang mengejar kemuliaan via kapital ini, bisa membuat kerusakan, sebagaimana peringatan Pemikir Prancis tersebut. “Kebanggaan telah merusak manusia sejak masa bayi. Ah! Betapa mulianya! Ah! Bagus sekali! Betapa baiknya dia! dll.” (P. Bourdieau, 1997: 167).
Ada dua sosok lainnya yang berlimpah dengan kapital yakni Anies Baswedan (AB) dan Habib Rizieq Shihab (HRS). Hanya saja keduanya menjadi target kebencian dan permusuhan dari sekutu rezim sekarang. AB memiliki Kapital Simbolik antara lain ia cucu dari pejuang nasional Abdurrahman Baswedan. Kapital simbolik lainnya berkaitan dengan basis keluarganya dari kalangan akademisi yakni ayahnya, Rasyid Baswedan, Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) serta ibunya Aliyah, Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). AB sendiri memiliki ‘state nobility’, sebuah istilah dari Bourdieau yang merujuk pada kemuliaan yang diperoleh dari negara atau perguruan tinggi karena prestasi akademik yang tinggi. Kapital Sosialnya diperoleh dari arena tarung yakni ketika pulau-pulau yang dikuasai taipan, bisa ia rebut kembali untuk warga DKI Jakarta. Semua kapital tersebut tak akan pernah susut nilai karena serangan kebencian dari buzzer berbayar hingga buzzer percuma.
HRS juga bergelimpangan dengan empat kapital tersebut. Meski namanya dihapus dari mesin pencari hingga grup-grup media sosial, namun kapital tersebut makin menunjukkan kemilau berliannya.
Bourdieau sendiri tak menyebutkan bagaimana caranya mematikan empat jenis kapital itu, sehingga referensi apa yang digunakan oleh rezim Media Arus Utama (Maut) hingga rezim otoritarian untuk melakukan pembusukan?
Masalahnya kini, mengapa seseorang yang tak diketahui genesis kapitalnya mampu berada di pucuk rezim oligarki otoriter? Memang ia kini memiliki Kapital Ekonomi yang besar juga anak-anaknya, tapi itu baru saja dikumpulkannya di dua periode kuasa. Lalu mau apa dia di takhta yang ketiga?(*)