BAGI saya Roel Sanre adalah sosok yang selalu berada di seberang dan menjadi semacam antitesa bagi banyak momen dan peristiwa. Kehadirannya lebih didominasi oleh sikap skeptis atas semua hal, terutama dalam memandang masyarakat dan perubahan-perubahannya. Dia seolah dengan sadar memilih jalan berseberangan terutama soal pemikiran dan sikap, dalam memandang negara, kekuasaan, gerakan sosial dan aktivisme.
Sepanjang pengalaman berarsiran dengan Roell, saya mencatat bahwa pertumbuhan pemikiran awalnya sangat diwarnai oleh pikiran-pikiran humanisme yang kami anggap “kiri” melalui sosok para pemikir awal bangsa ini. Ia tentu membaca Soekarno tetapi memberi perhatian banyak kepada Tan Malaka. Ia juga membaca Hatta tetapi lebih terpukau pada Sutan Sjahrir. Ringkasnya, latar pemikiran yang membentuk sikap-sikapnya sebagai aktivis, belakangan, lebih condong ke arah sosialis-humanis dengan timbangan penuh pada rasionalitas. Dari sana ia membentuk anutan idiologi perlawanan yang barangkali secara konsisten dilakoninya sepanjang hayat.
Kami tamat SMA negeri 2 Makassar tahun 1970 , Roell lanjut kuliah di ITB
kemudian dia menjadi aktivis. Sebagai anak Makassar yang berkesempatan kuliah di ITB pada era itu, tak pelak, Roell nyaris otomatis dipandang sebagai rujukan. Atau paling tidak sumber informasi pada masa-masa pergolakan di awal Orde Baru.
Hal ini tentu sangat wajar sebab kiprah Roell di koran Mahasiswa Indonesia, Bandung, di bawah arahan Rahman Tolleng amat berpengaruh besar pada pembentukan cara pandang aktivis luar Jawa seperti di Makassar. Apalagi kemudian dia terlibat dan ambil bagian dalam aksi-aksi dan gerakan besar menentang Orde Baru awal.
Saat liburan dan kembali ke Makassar, Roell akan sangat intens berdiskusi dengan para aktivis. Selain menyampaikan informasi-informasi sensitif, dia juga senantiasa memaparkan pandangan-pandangan personalnya, bahkan berupaya membangun koneksi dan jaringan. Dan yang tak kalah pentingnya ialah semangatnya untuk mendorong lahirnya penulis-penulis yang berani menyuarakan kritik dan kepentingan rakyat.
Wawasannya terkadang sangat tendensius bila menyangkut idiologi-perlawanan. Pada saat seperti itu, dia akan terkesan sebagai idiolog dengan anutan humanisme-sosialis tadi. Hal ini belakangan kemudian terkonfirmasi dari tulisan-tulisannya di Majalah Prisma ketika menulis tokoh kiri seperti Iwa Kusumasumantri. Pada masa itu dia memang banyak menulis dan seperti yang diceritakannya sendiri, dia banyak terbantu oleh kawan-kawan dekatnya seperti Aristides Katoppo, pemilik koran Sinar Harapan. Juga kawan-kawannya di Majalah Prisma seperti Aswab Mahasin dan Dawam Rahardjo. Seingat saya dia juga pernah intens menulis di Majalah Panji Masyarakat yang dipimpin Rusydi Hamka.
Kepenulisan agaknya menjadi jalan perlawanan yang tak pernah dilepasnya. Termasuk perhatiannya pada dunia pendidikan dan kesenian. Di dunia pendidikan Roell pernah menginisiasi program memboyong lulusan SMP terbaik dari berbagai daerah di Sulsel untuk masuk SMA di Bandung dan dengan demikian akan lebih mudah masuk perguruan tinggi terbaik di kota itu.
Sementara itu, terkait dunia kesenian, Roell yang subyek studinya di ITB adalah Seni Rupa, juga sangat aktif mendorong kiprah kesenian Sulsel di Bandung dan Jakarta. Dan kalau tidak salah ingat, Roell adalah salah seorang deklarator berdirinya Dewan Kesenian Jakarta. Dalam kiprah ini, Roell tentu sangat karib dengan seniman-seniman yang memulai kiprah kesenimanannya di Bandung seperti Remy Sylado, Sutardji Calzoum Bachri dan sejumlah seniman besar lainnya seperti pelukis M Sadali, Djehan dan Nashar.
Bagi sejumlah pihak bahkan bagi kawan-kawan segenerasinya seperti Rizal Ramli, Farid Faqih (alm), Hery Achmadi dll., Roell dipandang sebagai sosok misterius. Misterius dalam arti dia selalu memposisikan diri di pinggir mengamati dan mencatat.
Dia bisa hadir tiba-tiba di DPP KNPI menunggu saya bareng pulang, membuat para pengurus KNPI ketika itu bingung mengapa Roell Sanre bisa ada di DPP KNPI, dia mencari siapa? Seperti kita ketahui kala itu posisi KNPI adalah organisasi pemuda besutan pemerintah Orde Baru yang selalu dikritisi oleh Roell.
Sekali peristiwa Roell melaksanakan kegiatan baca puisi Anil Hukma, istrinya di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Sebelum berangkat ke TIM, dia hanya menyampaikan kalau ada acara di TIM dan berharap saya menghadiri nya. Tambahannya, dia tidak sempat urus konsumsi artinya dia berharap kami yang menyiapkan konsumsi. Tak ada pesan lain. Roell dalam urusan seperti ini memang hemat kata, bahkan acara itu sendiri baru kami ketahui pagi itu.
Kami pun bersama dua orang teman bersiap menghadiri acaranya tetapi tentu terlebih dahulu harus mampir membeli konsumsi untuk keperluan acara tersebut lalu ke lokasi acara di TIM.
Yang masalah, kami bertiga harus membawa 100 pack konsumsi, sehingga supaya lebih ringan, Giman, sang sopir pun diajak mengangkat konsumsi tersebut dengan masing-masing membawa 25 pack perorang. Kami masuk ke ruang acara berempat dengan kedua tangan masing-masing menenteng kardus. Kejadian tersebut sangat berkesan bagi saya yang saat itu, adalah anggota DPR RI .
Ketika acara di mulai salah satu diantara kami bertiga diminta untuk menjadi MC dan salah satu dari kami pun menjadi MC dadakan. Ketika acara sudah berlangsung kami pun diminta untuk membacakan salah satu dari kumpulan puisi tersebut. Kami membaca puisi Sepotong Ikan di Atas Meja, salah satu puisi Anil Hukma. Acara pembacaan puisi pun berlangsung sukses .
Secara personal, Roell adalah pribadi yang hangat. Tak jarang dia tiba-tiba datang ke rumah, ngobrol dengan ibu dan saudara-saudara, dengan topik seakan tak pernah habis.
Keluasan wawasan dan kekayaan pengalamannya sebagai orang gerakan, aktivis, tak menghalangi dia untuk betah berbicara hal sehari-hari. Termasuk masakan dan makanan, pertalian kekerabatan dan juga kabar-kabar saudara yang jauh.
Dia memang seorang humanis yang tidak pernah silau dan tergiur posisi dan kemewahan yang menyertainya. Hingga akhir hayat dia adalah seorang sahabat yang amat sederhana dan bersahaja.